Tulisan Jalan

Hidupku untuk mengharumkan nama-MU Jangan bersukcita ketika engkau berhasil dalam pelayanan, tetapi bersukcitalah karena namamu tercatat di Surga

Kau istimewa. Di seluruh dunia, tidak ada orang yang sepertimu. Sejak bumi diciptakan tidak ada orang lain yang sepertimu. Tidak ada orang lain yang memiliki senyummu, tidak ada yang memiliki matamu, hidungmu, rambutmu, tanganmu, suaramu. Kau istimewa. Tidak ada orang lain yang memiliki tulisan yang sama denganmu. Tidak ada orang lain yang memiliki selera akan makanan, pakaian, musik, atau seni sepertimu. Tidak ada orang lain yang memiliki cara pandang sepertimu. Sepanjang masa tidak ada orang lain yang tertawa sepertimu, tidak ada yang menangis sepertimu. Kaulah satu di antara seluruh ciptaan yang memiliki kemampuan seperti yang kau miliki. sampai selamanya, tidak akan ada orang yang akan pernah melihat, berbicara, berjalan, berpikir, atau bertindak seperti dirimu. Kau istimewa...kau langka. Tuhan telah menjadikanmu istimewa dengan satu tujuan yaitu MEMULIAKAN DIA

Cari Blog Ini

Sabtu, 30 Juli 2011

Panggilan Menjadi Hamba Tuhan adalah Panggilan yang Istimewa

***Firman-Mu adalah Pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku***
Khotbah Pembukaan Orientasi Pengenalan Kampus
STT SAPPI, Rabu 27 Juli 2011
Nats: Galatia 1:1-5

Oleh: Adrianus Pasasa

Saudaraku yang dikasihi Tuhan Yesus, numpang Tanya kepada calon mahasiswa baru, kira-kira apa yang menjadi cita-citamu? Coba kita berkata jujur apa benar cita-cita kita menjadi hamba Tuhan?

Berbicara tentang panggilan, setiap orang mempunyai panggilan yang sama, yaitu panggilan pertobatan untuk menerima keselamatan di dalam Tuhan Yesus Kristus dan panggilan pelayanan untuk menjadi penjala manusia (Matius 4:19). Untuk panggilan pelayanan, ada yang dipanggil dengan memberikan respon melayani sepenuh waktu menjadi pendeta, penginjil, atau pekerja gereja, tetapi juga ada yang memberikan respon melayani paruh waktu, artinya masih bekerja di dunia sekuler dan selebihnya untuk melayani pekerjaan Tuhan. Saya percaya kita yang hadir di tempat ini meresponi panggilan Tuhan untuk melayani sepenuh waktu.

Pertanyaan bagi kita semua, apakah saya benar dipanggil? Untuk menguji apakah kita dipanggil Tuhan dengan sepenuh waktu, maka waktu itu sendiri akan menguji kita, apakah kita sepenuh waktu atau tidak. Yang terpenting adalah Full heart (sepenuh hati)

Saudaraku yang dikasihi Tuhan Yesus, panggilan menjadi Hamba Tuhan adalah panggilan yang istimewa, dikatakan istimewa karena:

1. Panggilan itu bukan karena manusia, juga bukan oleh seorang manusia, tetapi panggilan itu oleh Yesus Kristus dan Allah.

Rasul Paulus menulis surat ini untuk meyakinkan jemaat di Galatia bahwa Ia sungguh-sungguh adalah seorang rasul Yesus Kristus, bahwa panggilannya benar-benar dari Yesus Kristus dan apa yang ia beritakan adalah satu-satunya berita yang benar yang berasal dari Yesus Kristus. Paulus memahami panggilannya yang istimewa, sehingga ketika menghadapi jemaat di Galatia yang meragukan pengajarannya, meragukan jabatan kerasulannya. Paulus tidak membuktikan panggilannya dan kerasulnya dengan berkata: “Aku telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertinggi dalam Ilmu Teologi, karena aku belajar dari professor Gamaliel. Paulus tidak membuktikan dengan pendidikan tingginya, pengetahuan filsafat, tetapi Paulus pertama-tama membuktikan otoritasnya dengan panggilannya menjadi rasul. Mengapa Paulus memulai dengan menjelaskan panggilannya? Karena ia tahu benar panggilan menjadi rasul, panggilan menjadi penginjil, panggilan menjadi hamba Tuhan adalah panggilan yang istimewa.

Dari Paulus, seorang rasul bukan karena manusia, Paulus menunjukkan bahwa asalnya atau datangnya panggilan Paulus sebagai rasul bukan dari manusia. Bukan manusia yang menetapkan Paulus menjadi rasul. Bukan dirinya sendiri yang menetapkan dirinya menjadi rasul. Bukan rasul-rasul yang lain di Yerusalem yang menetapkan dirinya menjadi rasul, dan juga bukan orang-orang Kristen yang menetapkan dirinya menjadi rasul. Saat ini banyak hamba Tuhan yang mengklaim dirinya dipanggil oleh Allah, padahal mereka diangkat oleh manusia. Waktulah yang akan menentukan mana yang “asli” dan mana yang “palsu”.

Pangilan paulus bukan oleh seorang manusia, hal ini menunjukkan bahwa datangnya kerasulan Paulus bukan melalui manusia. Kerasulan diperoleh bukan melalui sidang rasul-rasul di Yerusalem. Kristus sendiri yang mengangkat Paulus secara langsung menjadi rasul.

Ketika saya menghubungi teman-teman di daerah saya selalu mengatakan, cari anak-anak yang benar-benar punya panggilan menjadi hamba Tuhan. Jangan hanya karena orang tuanya tidak mampu untuk membiayai kuliah dan kita menyarankan untuk sekolah teologi, padahal ia sama sekali tidak punya panggilan untuk jadi hamba Tuhan. Seringkali kita terpaksa masuk sekolah teologi karena tidak ada pilihan lagi. Jelas ini bukan panggilan dari Tuhan. Ada orang yang mau menjadi hamba Tuhan dan sekolah teologi, karena setelah tamat SMU tidak bisa mencari pekerjaan yang layak, ataupun tidak memiliki biaya untuk melanjutkan kuliah. Oleh sebab itu pilihan yang tersisa adalah sekolah teologi, karena banyak STT memberikan beasiswa penuh kepada mahasiswanya. Ada juga yang ingin menjadi hamba Tuhan karena melihat hamba-hamba Tuhan di kota-kota besar kelihatannya hidupnya lebih baik, tidak sedikit hamba Tuhan yang memiliki mobil, atau bahkan mobil mewah. Jika hal ini yang memotivasi saudara menjadi hamba Tuhan dan bukan oleh karena panggilan Tuhan, maka lebih baik saudara meninggalkan tempat ini. Tuhan tidak memanggil saudara, saudara hanya akan menjadi gembala upahan dan bahkan mungkin penyesat.

Saudaraku yang dikasihi Tuhan Yesus, kita berdoa mudah-mudahan di tempat ini semua mendapat panggilan dari Tuhan. Oleh karena itu, kita yang ada di tempat ini harus menyadari bahwa kita melayani Tuhan bukan karena dipanggil oleh manusia, bukan karena kehendak kita sendiri, tetapi saudara ada di tempat ini saat ini karena Tuhan yang memanggil saudara dan saya. Paulus menegaskan bahwa kerasulannya datang bukan dari manusia, bukan oleh seorang manusia, melainkan oleh Yesus Kristus dan Allah.

2. Dikatakan istimewa karena panggilan itu sudah ada sebelum orang itu dilahirkan.

Allah memanggil orang-orang pilihan-Nya berdasarkan kehendak-Nya, bahkan sebelum mereka dilahirkan (Roma 9:10-11). Sebab waktu anak-anak itu belum lahir atau belum melakukan yang baik dan yang jahat, supaya rencana Allah tentang pemilihannya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilannya.

3. Dikatakan istimewa karena panggilan itu didasarkan atas kasih karunia bukan pada perbuatan.

Panggilan adalah kehendak Allah, tidak didasarkan pada perbuatan baik atau jasa-jasa seseorang. 2 Tim 1:9. Saya pikir kalau panggilan berdasarkan perbuatan, maka tidak ada yang layak menjadi hamba Tuhan. Mungkin ada di antara kita yang mempunyai masa lalu yang kelam, tetapi Tuhan tidak melihat masa lalu saudara, karena Tuhan memilih saudara berdasarkan kasih karunia-Nya, bukan berdasarkan perbuatan saudara.

4. Dikatakan istimewa karena panggilan itu akan merubah corak hidup yang dipanggil-Nya.

Panggilan Ilahi akan merubah pandangan hidup, standar hidup, cara berbicara, gaya hidup dan pergaulan orang yang dipanggil-Nya. Paulus kehidupannya sangat berbeda saat menerima panggilan Tuhan. Orang yang memiliki panggilan Ilahi dalam dirinya akan berpikir dan bekerja lebih keras daripada orang lain. Tidak akan sama seperti dulu dan harus rela kehilangan hal-hal yang baik demi hal-hal yang terbaik. Efesus 4:1

Saudaraku yang dikasihi Tuhan Yesus, karena panggilan menjadi hamba Tuhan adalah suatu panggilan yang istimewa maka panggilan itu harus dijaga dan dikerjakan seumur hidup kita. Panggilan itu tidak hanya dikerjakan pada saat kita masuk sekolah teologi, tetapi panggilan itu harus terus dijaga dan dikerjakan sampai ajal menjemput kita. Jika saudara dan saya bena-benar mendapat panggilan istimewa ini, maka jangan pernah lari dari panggilan. Orang yang lari dari panggilannya akan mengalami kehidupan yang payah dan terombang-ambing. Alkitab menceritakan Yunus yang lari dari panggilannya. Yunus adalah manusia biasa, sama seperti kita, sama-sama memiliki kelemahan. Yunus lari dari panggilannya dan kehidupannya mulai susah, ketika ia berserah Tuhan meluruskan kembali jalannya. Kita tidak bisa lari dari panggilan apapun alasannya. Kita harus melakukan panggilan sorgawi sampai mati. 2 Petrus 1:10

Saudaraku yang dikasihi Tuhan Yesus, ketika Billy Graham diminta untuk mencalonkan diri menjadi presiden Amerika serikat, ia memberikan jawaban yang begitu indah, ia berkata bahwa jika ia menjadi presiden beberapa waktu kemudian ia akan dipensiunkan, namun jika ia menjadi hamba Tuhan, ia akan tetap melayani seumur hidup. Pernyataan Billy Graham ini menunjukkan suatu kesadaran bahwa panggilan menjadi hamba Tuhan adalah panggilan yang agung, panggilan yang istimewa.
Baca Terusannya »»  

Senin, 18 Juli 2011

Ladang sudah menguning dan matang untuk dituai

***Firman-Mu adalah Pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku***
Ibadah Umum GPdI Pasir Nangka Ciranjang-Cianjur, Minggu 17 Juli 2011
Nats: Yohanes 4:31-42
Oleh: Adrianus Pasasa

Untuk melihat ladang yang menguning, seorang petani terlebih dahulu mengolah ladang, mencangkul, membersikan rumput, menggemburkan tanahnya baru ditaburi dengan benih. Tidak hanya sampai di situ, langkah selanjutnya adalah memelihara benih yang sudah ditabur supaya tidak dimakan burung atau dirusak oleh binatang yang lain. Setelah benih bertumbuh, benih tersebut membutuhkan pemeliharaan supaya dapat bertumbuh dengan baik. Dengan berjalannya waktu benih itu akan mengalami pertumbuhan dan akhirnya menguning dan matang untuk di tuai.
Dalam Yohanes 4:35 Tuhan Yesus berkata kepada murud-Nya: Bukankah kamu mengatakan: Empat bulan lagi tibalah musim menuai? Tetapi Aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai. Murid-Nya tidak peka melihat orang banyak yang mengikut Tuhan Yesus, murid-Nya tidak melihat kerinduan orang banyak untuk datang kepada Yesus. Tetapi Yesus melihat bahwa orang-orang yang mengikut-Nya sudah siap untuk di panen.
Pertanyaannya bagi kita orang percaya: ladang yang mana dan siapa penuainya?
Syarat untuk menuai, tentu harus ada ladang, kemudian ladang itu diolah, dipelihara, matang baru bisa dituai. Sebagai orang percaya yang sudah mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan Yesus, ladang itu sudah ada yaitu dunia, tugas kita sebagai orang percaya adalah mempersiapkan ladang untuk ditaburi dengan benih Firman Tuhan (Injil). Dalam konteks saat ini, beberapa cara dapat kita pakai untuk menabur benih Injil.
a.       Hal pertama yang dapat kita lakukan adalah memiliki kepekaan terhadap keadaan, kita harus peka melihat keadaan seseorang/apa yang dirasakan seseorang. Di tengah kondisi bangsa yang sedang “sakit”, banyak orang yang mengalami kesepian, kurang kasih sayang, kurang perhatian, sakit hati, tertekan, kecewa, diperlakukan tidak adil, dll. Apa yang dapat kita perbuat ketika melihat kondisi seperti ini? Kita harus melihat bahwa penyebab semua itu karena rohani mereka mengalami gangguan (lagi sakit), tawarkan Yesus sebagai jawaban bagi kebutuhan mereka, terutama kebutuhan akan perdamaian dengan pencipta mereka (akibat dosa). Ketika mereka mengalami perdamaian dengan penciptanya, maka mereka juga akan mengalami perjumpaan dengan Yesus. Rohani mereka akan dipulihkan dan kehidupan jasmani merekapun akan ikut dipulihkan.
b.      Hal kedua yang dapat kita lakukan adalah menjadi saksi (bersaksi). Bersaksi  tidak hanya dibatasi pada membicarakan fakta-fakta Injil kepada orang yang belum percaya, atau sebaliknya hanya menampakkan perbuatan sebagai orang Kristen di mata orang lain. Bersaksi yang sebenarnya adalah baik perbuatan maupun perkataan terjalin menjadi satu dan tak terpisahkan dalam bersaksi.
·   Contoh: orang lain harus diberitahu siapa yang membuat hidup kita begitu berbeda, hidup kita akan menerangi kebenaran yang kita sampaikan,  kesaksian kita harus memiliki dua sayap yaitu: hidup kita (perbuatan) dan bibir kita (perkataan)
·   Isi berita kesaksian yang kita sampaikan adalah Kristus dan Allah, bukan perjalanan iman kita. Subyek pemberitaan kita adalah kebenaran mengenai Pribadi Yesus Kristus (2 Kor. 5:19). Kesaksian kita perlu dievaluasi, berapa % tentang Kristus dan berapa % membicarakan tentang diri kita, mana yang lebih menonjol.
Beberapa hal yang sering menjadi penghalang untuk kita menabur/ bersaksi:
·         Anggapan kita bahwa mereka yang terhilang tidak membutuhkan kabar baik (Injil).
·         Anggapan kita bahwa mereka belum siap mendengar Injil, padahal bukan mereka yang tidak siap mendengar Injil, tetapi kita yang tidak siap memberitakan Injil.
·         Kita sering berkata aku tidak pandai berkata-kata (Band. Keluaran 4:10-11)
·         Kita harus menyadari bahwa menyaksikan berita Injil adalah tugas dan tanggung jawab setiap orang percaya. Jika kita masa bodoh dan tidak peduli akan hal ini, padahal kita mengetahui apa yang akan dialami oleh orang-orang yang hidupnya di luar Yesus Kristus, yaitu kebinasaan kekal. Suatu kelak Tuhan Yesus akan meminta pertanggungjawaban kepada kita. ( band. Yehezkiel 3:18)

2.      Setelah kita selesai menabur, suatu waktu akan tiba saatnya untuk menuai. Pertanyaannya adalah seberapa besar peran kita?
a.       Di atas sudah dijelaskan bahwa tugas kita adalah menyaksikan berita Injil melalui hidup dan bibir kita.
b.      Seseorang dapat datang kepada Tuhan Yesus dan mengalami Kelahiran baru, itu adalah bagian Allah (band. 1 Kor 3:5-9). Tetapi yang terjadi sering kali kita mengambil apa yang menjadi bagian Allah. Kita sering kali memaksakan kehendak, sehingga hasilnya juga setengah matang.
c.       Kita menuai bila Allah telah membuat gandum itu masak
d.      Keberhasilan penginjilan tidak dapat dinilai dari jumlah orang yang bertobat.
Tuhan Yesus mengatakan ladang sudah menguning dan siap untuk dituai. Bagaimana dengan kita yang hadir pada saat ini. Apakah hati kita tergerak untuk mengolah ladang yang Tuhan Yesus telah siapkan? Jika kita siap maka suatu waktu kelak kita akan bersukacita bersama Sang pemilik ladang melihat hasil-hasil tuaian.
Saudaraku yang dikasihi Tuhan Yesus, kotbah ini akan saya akhiri dengan kisah dua pasang suami istri yang menyerahkan diri kepada Tuhan untuk menjangkau daerah Afrika bagi Yesus Kristus. Pada tahun 1921, dua pasang suami istri dari Stockholm ( Swedia ), menjawab panggilan Allah untuk melayani misi penginjilan di Afrika. Kedua pasang suami istri ini menyerahkan hidupnya untuk mengabarkan Injil dalam suatu kebaktian pengutusan Injil. Mereka terbeban untuk melayani negara Belgian Kongo, yang sekarang bernama Zaire. Mereka adalah David & Svea Flood, serta Joel & Bertha Erickson.
Setelah tiba di Zaire, mereka melapor ke kantor Misi setempat. Lalu dengan menggunakan parang, mereka membuka jalan melalui hutan pedalaman yang dipenuhi nyamuk malaria. David dan Svea membawa anaknya David Jr. yang masih berumur 2 tahun. Dalam perjalanan, David Jr. terkena penyakit malaria. Namun mereka pantang menyerah dan rela mati untuk Pekerjaan Injil. Tiba di tengah hutan, mereka menemukan sebuah desa di pedalaman. Namun penduduk desa ini tidak mengijinkan mereka memasuki desanya. “Tak boleh ada orang kulit putih yang boleh masuk ke desa. Dewa-dewa kami akan marah,” demikian kata penduduk desa itu.
Karena tidak menemukan desa lain, mereka akhirnya terpaksa tinggal di hutan dekat desa tersebut. Setelah beberapa bulan tinggal di tempat itu, mereka menderita kesepian dan kekurangan gizi. Selain itu, mereka juga jarang mendapat kesempatan untuk berhubungan dengan penduduk desa. Setelah enam bulan berlalu, keluarga Erickson memutuskan untuk kembali ke kantor misi. Namun keluarga Flood memilih untuk tetap tinggal, apalagi karena saat itu Svea baru hamil dan sedang menderita malaria yang cukup buruk. Di samping itu David juga menginginkan agar anaknya lahir di Afrika dan ia sudah bertekad untuk memberikan hidupnya untuk melayani di tempat tersebut.
Selama beberapa bulan Svea mencoba bertahan melawan demamnya yang emakin memburuk. Namun di tengah keadaan seperti itu ia masih menyediakan waktunya untuk melakukan bimbingan rohani kepada seorang anak kecil penduduk asli dari desa tersebut. Dapat dikatakan anak kecil itu adalah satu-satunya hasil pelayanan Injil melalui keluarga Flood ini. Saat Svea melayaninya, anak kecil ini hanya tersenyum kepadanya. Penyakit malaria yang diderita Svea semakin memburuk sampai ia hanya bisa berbaring saja. Tapi bersyukur bayi perempuannya berhasil lahir dengan selamat tidak kurang suatu apa. Namun Svea tidak mampu bertahan. Seminggu kemudian keadaannya sangat buruk dan menjelang kepergiannya, ia berbisik kepada David, “Berikan nama Aina pada anak kita,” lalu ia meninggal.
David amat sangat terpukul dengan kematian istrinya. Ia membuat peti mati buat Svea, lalu menguburkannya. Saat dia berdiri di samping kuburan, ia memandang pada anak laki-lakinya sambil mendengar tangis bayi perempuannya dari dalam gubuk yang terbuat dari lumpur. Timbul kekecewaan yang sangat dalam di hatinya. Dengan emosi yang tidak terkontrol David berseru, “Tuhan, mengapa Kau ijinkan hal ini terjadi ? Bukankah kami datang kemari untuk memberikan hidup kami dan melayani Engkau ?! Istriku yang cantik dan pandai, sekarang telah tiada. Anak sulungku kini baru berumur 3 tahun dan nyaris tidak terurus, apalagi si kecil yang baru lahir. Setahun lebih kami ada di hutan ini dan kami hanya memenangkan seorang anak kecil yang bahkan mungkin belum cukup memahami berita Injil yang kami ceritakan. Kau telah mengecewakan aku, Tuhan. Betapa sia-sianya hidupku !”
Kemudian David kembali ke kantor misi Afrika. Saat itu David bertemu lagi dengan keluarga Erickson. David berteriak dengan penuh kejengkelan, “Saya akan kembali ke Swedia ! Saya tidak mampu lagi mengurus anak ini. Saya ingin titipkan bayi perempuanku kepadamu.” Kemudian David memberikan Aina kepada keluarga Erickson untuk dibesarkan. Sepanjang perjalanan ke Stockholm, David Flood berdiri di atas dek kapal. Ia merasa sangat kesal kepada Allah. Ia menceritakan kepada semua orang tentang pengalaman pahitnya, bahwa ia telah mengorbankan segalanya tetapi berakhir dengan kekecewaan. Ia yakin bahwa ia sudah berlaku setia tetapi Tuhan membalas hal itu dengan cara tidak mempedulikannya.
Setelah tiba di Stockholm, David Flood memutuskan untuk memulai usaha di bidang import. Ia mengingatkan semua orang untuk tidak menyebut nama Tuhan di depannya. Jika mereka melakukan itu, segera ia naik pitam dan marah. David akhirnya terjatuh pada kebiasaan minum-minuman keras.
Tidak lama setelah David Flood meninggalkan Afrika, pasangan suami-istri Erickson yang merawat Aina meninggal karena diracun oleh kepala suku dari daerah dimana mereka layani. Selanjutnya si kecil Aina diasuh oleh Arthur & Anna Berg. Keluarga ini membawa Aina ke sebuah desa yang bernama Masisi, Utara Kongo. Di sana Aina dipanggil “Aggie”. Si kecil Aggie segera belajar bahasa Swahili dan bermain dengan anak-anak Kongo. Pada saat-saat sendirian si Aggie sering bermain dengan khayalan. Ia sering membayangkan bahwa ia memiliki empat saudara laki-laki dan satu saudara perempuan, dan ia memberi nama kepada masing-masing saudara khayalannya. Kadang-kadang ia menyediakan meja untuk bercakap-cakap dengan saudara khayalannya. Dalam khayalannya, ia melihat bahwa saudara perempuannya selalu memandang dirinya.
Keluarga Berg akhirnya kembali ke Amerika dan menetap di Minneapolis. Setelah dewasa, Aggie berusaha mencari ayahnya tapi sia-sia. Aggie menikah dengan Dewey Hurst, yang kemudian menjadi presiden dari sekolah Alkitab Northwest Bible College. Sampai saat itu Aggie tidak mengetahui bahwa ayahnya telah menikah lagi dengan adik Svea, yang tidak mengasihi Allah dan telah mempunyai anak lima, empat putra dan satu putri Tepat seperti khayalan Aggie ).
Suatu ketika Sekolah Alkitab memberikan tiket kepada Aggie dan suaminya untuk pergi ke Swedia. Ini merupakan kesempatan bagi Aggie untuk mencari ayahnya. Saat tiba di London, Aggie dan suaminya berjalan kaki di dekat Royal Albert Hall. Di tengah jalan mereka melihat ada suatu pertemuan penginjilan. Lalu mereka masuk dan mendengarkan seorang pengkotbah kulit hitam yang sedang bersaksi bahwa Tuhan sedang melakukan perkara besar di Zaire. Hati Aggie terperanjat.
Setelah selesai acara, ia mendekati pengkotbah itu dan bertanya, “Pernahkah anda mengetahui pasangan penginjil yang bernama David dan Svea Flood ?” Pengkotbah kulit hitam ini menjawab, “Ya, Svea adalah orang yang membimbing saya kepada Tuhan waktu saya masih anak-anak. Mereka memiliki bayi perempuan tetapi saya tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang.” Aggie segera berseru, “Sayalah bayi perempuan itu ! Saya adalah Aggie – Aina !”
Mendengar seruan itu si Pengkotbah segera menggenggam tangan Aggie dan memeluk sambil menangis dengan sukacita. Aggie tidak percaya bahwa orang ini adalah bocah yang dilayani ibunya. Ia bertumbuh menjadi seorang penginjil yang melayani bangsanya dan pekerjaan Tuhan berkembang pesat dengan 110.000 orang Kristen, 32 Pos penginjilan, beberapa sekolah Alkitab dan sebuah rumah sakit dengan 120 tempat tidur.
Esok harinya Aggie meneruskan perjalanan ke Stockholm dan berita telah tersebar luas bahwa mereka akan datang. Setibanya di hotel, ketiga saudaranya telah menunggu mereka di sana dan akhirnya Aggie mengetahui bahwa ia benar-benar memiliki saudara lima orang. Ia bertanya kepada mereka, “Dimana David kakakku ?” Mereka menunjuk seorang laki-laki yang duduk sendirian di lobi.
David Jr. adalah pria yang nampak kering, lesu dan berambut putih. Seperti ayahnya, iapun dipenuhi oleh kekecewaan, kepahitan dan hidup yang berantakan karena alkohol. Ketika Aggie bertanya tentang kabar ayahnya, David Jr. menjadi marah. Ternyata semua saudaranya membenci ayahnya dan sudah bertahun-tahun tidak membicarakan ayahnya. Lalu Aggie bertanya, “Bagaimana dengan saudaraku perempuan ?” Tak lama kemudian saudara perempuannya datang ke hotel itu dan memeluk Aggie dan berkata, “Sepanjang hidupku aku telah merindukanmu. Biasanya aku membuka peta dunia dan menaruh sebuah mobil mainan yang berjalan di atasnya, seolah-olah aku sedang mengendarai mobil itu untuk mencarimu kemana-mana.” Saudara perempuannya itu juga telah menjauhi ayahnya, tetapi ia berjanji untuk membantu Aggie mencari ayahnya.
Lalu mereka memasuki sebuah bangunan tidak terawat. Setelah mengetuk pintu, datanglah seorang wanita dan mempersilakan mereka masuk. Di dalam ruangan itu penuh dengan botol minuman, tapi di sudut ruangan nampak seorang terbaring di ranjang kecil, yaitu ayahnya yang dulunya seorang penginjil. Ia berumur 73 tahun dan menderita diabetes, stroke dan katarak yang menutupi kedua matanya. Aggie jatuh di sisinya dan menangis, “Ayah, aku adalah si kecil yang kau tinggalkan di Afrika.” Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangnya. Air mata membasahi matanya, lalu ia menjawab, “Aku tak pernah bermaksud membuangmu, aku hanya tidak mampu untuk mengasuhnya lagi.” Aggie menjawab, “Tidak apa-apa, Ayah. Tuhan telah memelihara aku.”
Tiba-tiba, wajah ayahnya menjadi gelap, “Tuhan tidak memeliharamu !” Ia mengamuk. “Ia telah menghancurkan seluruh keluarga kita ! Ia membawa kita ke Afrika lalu meninggalkan kita. Tidak ada satupun hasil di sana. Semuanya sia-sia belaka !” Aggie kemudian menceritakan pertemuannya dengan seorang pengkotbah kulit hitam dan bagaimana perkembangan penginjilan di Zaire. Penginjil itulah si anak kecil yang dahulu pernah dilayani oleh ayah dan ibunya. “Sekarang semua orang mengenal anak kecil, si pengkotbah itu. Dan kisahnya telah dimuat di semua surat kabar.” Saat itu Roh Kudus turun ke atas David Flood. Ia sadar dan tidak sanggup menahan air mata lalu bertobat.
Tak lama setelah pertemuan itu, David Flood meninggal, tetapi Allah telah memulihkan semuanya, kepahitan hatinya dan kekecewaannya.


Baca Terusannya »»  

Selasa, 05 Juli 2011

Perjalanan Hidupku 1

***Firman-Mu adalah Pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku***
Saya Adrianus Pasasa, dilahirkan di Lion Kab. Tana Toraja. Latar belakang keluarga besar saya, ibu memiliki enam saudara di mana semuannya perempuan, karena hidup dizaman yang susah ibu saya dan saudara-saudaranya harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Bapak saya berasal dari keluarga yang cukup mapan sehingga dapat menempuh pendidikan tinggi. Bapak saya seorang pekerja keras, disela-sela tugasnya sebagai polisi, bapak juga membuka usaha rumah makan. Berbeda dengan ibu saya yang berasal dari keluarga yang hidup pas-pasan, sehingga ibu hanya tamat Sekolah Rakyat.

Saya bangga memiliki orang tua yang memiliki kepribadian yang baik, ibu dan bapak berasal dari keluarga baik-baik, namun hal itu tidak dapat kami nikmati sampai kami dewasa. Kebersamaan orang tua kami tidak dapat bertahan. Sebagai seorang Polisi Ayah selalu pindah Tugas, sehingga suatu saat jatuh ke dalam dosa perselingkuhan. Waktu itu kami masih kecil jadi belum tahu apa-apa, setelah dewasa baru saya memahami semua itu. Sejak itu ibu saya yang paling berperan dalam mendidik saya dan saudara-saudara saya. Kami tiga bersaudara dibesarkan tanpa kasih sayang dan figur seorang ayah. Sejak kecil kami hanya dibesarkan oleh kasih sayang seorang ibu. Ibu sangat ketat mendidik kami, supaya kami menjadi orang yang berhasil. Dalam mendidik kami ibu memiliki peran ganda sebagai seorang ibu dan juga berfungsi sebagai ayah. Jadi semua didikan didominasi oleh ibu, banyak nilai-nilai yang ditanamkan, misalnya ibu selalu menanamkan bagaimana menghargai hidup ini, hidup itu tidak mudah atau susah jadi harus berusaha dan bekerja keras supaya bisa dihargai orang. Ibu juga selalu menanamkan bagaimana menghargai orang lain, menolong orang lain, memiliki kepedulian kepada orang lain dan berbagi dengan orang lain.

Pola didikan yang saya terima dari ibu cukup keras, kami dituntut untuk bekerja membantu ibu setelah pulang sekolah. Tiap malam kami juga selalu diharuskan untuk belajar. Kami juga diajar untuk hidup teratur, semua sudah ada jadwalnya bangun pagi masak makanan babi, bersihkan kandang babi, setelah itu kami kesekolah, pulang sekolah bantu ibu ke ladang atau cari makanan babi, sore tumbuk padi untuk di masak, jadi semua serba teratur. Kegiatan ini rutin kami lakukan setiap hari. Dalam mendidik kami, ibu juga tidak segan-segan memukul dengan rotan kalau kami lalai mengerjakan tugas rumah atau bolos dari sekolah. Namun ibu juga memberikan penghargaan/pujian jika kami mengerjakan tugas-tugas kami dengan baik, dan juga diberi pujian jika kami mendapat nilai yang baik di sekolah. Dari kecil kami diajar untuk hidup mandiri, hidup prihatin, dan diajarkan untuk tetap tabah dan kuat dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan hidup. Untuk kesekolah saya harus jalan kaki 5 kilo setiap hari, walaupun capek ibu selalu memotivasi kami supaya tidak mudah menyerah, kami harus membuktikan walaupun hidup susah kami bisa berhasil.

Setelah tamat SD ibu melepaskan kami untuk mencari biaya makan dan biaya sekolah sendiri, karena ibu sudah tidak sanggup lagi membiayai kami. Awalnya kami menjadi pembantu di rumah orang sebagai penjual koran dan kasih makan babi, dari sini saya mendapat upah makan dan sedikit biaya untuk sekolah, saya pernah jadi kernet mobil saya terjatuh dan terseret jauh hingga keluar darah dari kepala saya tapi saat itupun tidak diobati hanya dikasih kopi saja, saya yakin sekali itu pertolongan Tuhan. Waktu-waktu luang saya gunakan untuk berdoa secara pribadi dan mengikuti organisasi pemuda di gereja, kadang dalam doa saya mengadu kepada Tuhan, mengapa kami harus mengalami semua ini. Tetapi dalam hati kecil saya mengatakan, Tuhan pasti mempunyai rencana yang indah buat keluarga kami, khususnya untuk saya. Pekerjaan di atas saya lalui bersama kakak dan adik saya sampai kami semua tamat SMA.

Nilai-nilai yang ibu saya tanamkan sejak kecil banyak sekali membentuk karakter saya, kebiasaan hidup teratur, bekerja keras, hidup disiplin dan mudah menolong orang lain. Satu pesan ibu saya yang terus menginspirasi hidup saya adalah: ”kata ibu saya, saya tidak memiliki harta yang saya tinggalkan buat kalian, tetapi satu pesan saya kemanapun kamu pergi hiduplah dalam takut akan Tuhan dan kalian hanya bertiga, kalian harus saling mengasihi” itulah pesan ibu saya yang tidak akan pernah saya lupakan. Ibu saya pun menjadi seorang yang tidak hanya baik bagi anak-anaknya tapi juga bagi keluarga dan orang-orang sekitarnya itu terbukti ketika ibu saya sudah terbaring sakit di rumah sakit orang-orang atau tetangganya datang setiap malam untuk menjeguk satu truk bergantian menjaga, saya sangat bersyukur ibu saya dikasihi oleh orang-orang di kampung, ketika ibu saya matipun harus melalui acara adat orang mati orang banyak datang untuk membantu proses pesta mati dengan sukarela, hingga beliau dikubur, melihat keadaan itupun menegaskan suatu pembelajaran bagi saya, jika kita menghargai orang, orangpun akan menghargai kita.

Mengenai ayah, saya tidak terlalu banyak mengenal dia secara mendalam, karena kami tidak hidup satu rumah. Walaupun demikian saya tetap menyayangi ayah. Saya menyadari, walaupun ayah kurang berperan dalam hidup saya, namun saya percaya bahwa tanpa ayah yang Tuhan pakai tidak mungkin saya ada di dunia ini.

Setelah saya hidup berumah tangga dan telah memiliki dua putra. Kadang saya tidak habis pikir begitu indah pertolongan Tuhan bagi saya. Saya dapat mengenal siapa Pribadi itu yang menolong saya melalui segala kesusahan hidup, yaitu Yesus Kristus. Satu hal yang saya petik: ”hidup adalah perjuangan”. Masih jelas dalam ingatan saya, untuk bisa makan saya harus tumbuk padi dulu hingga jadi beras baru bisa dimasak, terkadang tidak ada beras diganti dengan jagung, ubi jalar atau gadung (semacam ubi yang tumbuh di hutan). Bagi orang Toraja pendidikan itu bukan yang utama saya ingat ketika saya akan kuliah ayah saya berkata siapa suruh kamu kuliah kata-kata yang tidak ingin saya dengar keluar dari mulut ayah saya, saya harap dia akan mendukung. Walaupun ayah tidak mendukung tetapi hal itu tidak mematahkan semangat saya. Saya mengambil keputusan untuk ikut jejak kakak merantau ke Bandung. Di Bandung saya kuliah sambil bekerja. Saya bekerja dari pagi sampai sore, malamnya kuliah, puji Tuhan saya dapat memperoleh gelar Sarjana Teknik.

Tuhan telah menempatkan orang-orang disekitar saya untuk membentuk karakter saya. Ayah saya sekalipun beliau hidup tidak tinggal bersama-sama kami tapi ia sedikit banyak mempengaruhi karakter saya yaitu saya berjanji jika nanti saya berkeluarga saya akan melakukan peran saya sebagai seorang ayah dengan baik dan bertanggungjawab, belajar dari pengalaman pahit hidup tidak punya ayah walau beliau masih hidup. Di Bandung saya bertemu orang-orang yang juga senasib mempunyai latar belakang yang sama tidak merasakan kasih sayang seorang ayah, dan saya mampu memaafkan ayah saya secara total. Kalau saya renungkan kami dari keluarga yang tidak punya apa-apa, untuk makan saja tidak cukup, kalau bukan karena kemurahan dan pertolongan Tuhan tidak mungkin saya bisa melewati semua persoalan yang terjadi dalam hidup saya. Tetapi bagi saya tidak ada yang tidak mungkin di hadapan Tuhan Yesus, jika kita benar-benar percaya dan sejalan dengan kehendak-Nya.

Rasa empati saya kepada orang lain itu mungkin karena latar belakang saya, dan karena saya bisa berhasil juga karena orang lain peduli dengan saya. Maka dari awal saya berkomitmen ingin terjun ke bidang pelayanan yang sesuai dengan ilmu yang saya pelajari. Waktu masih kuliah, saya suka terlibat dengan kegiatan PMK diantaranya melakukan kegiatan bakti sosial dengan anak-anak jalanan. Mungkin karena kondisi kehidupan masa kecil saya yang penuh dengan keprihatinan, itulah yang membentuk kepribadian saya untuk selalu peduli dengan orang lain, tanpa memandang siapa dia.

Jika saya ingat kembali semua itu Tuhan membawa saya, membentuk pribadi saya menjadi pribadi yang takut akan Tuhan dan mengasihi Dia. Saya tidak tahu andai dahulu saya hidup dengan harta kekayaan ayah saya tentu saya tidak akan menjadi pribadi yang tangguh.

"Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa." (Yeremia 1:5)
Baca Terusannya »»  

Honesty (Kejujuran)

***Firman-Mu adalah Pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku***
Oleh : Adrianus Pasasa

Pengertian


Honesty (Kejujuran). Kejujuran kata dasarnya jujur yang artinya : Lurus hati, tidak curang . Jujur : Lurus hati, tidak berbohong (berkata apa adanya), tidak curang (mis. Dlm permainan mengikuti peraturan yang berlaku), tulus, iklas. Jadi Kejujuran adalah sifat jujur, sifat yang suka akan kebenaran, dan ketulusan hati.

Sinonim: tulus, Ikhlas, jujur, bersih, putih hati, mulus, sungguh-sungguh, tidak pura-pura; ikhlas, jujur, tulus, rela, memiliki loyalitas tinggi .

Antonim: dusta, berbohong . Jadi kebohongan adalah kebalikan dari kejujuran, dimana berbohong atau bedusta tidak mau mengatakan yang sebenarnya.

sinonim : andal, benar, bersih, bonafide, cengli, kredibel, lempeng hati, lurus hati, putih hati, mukhlis, mustakim, sadik, safi, sportif, blak-blakan, terang-terangan, terbuka, terus terang, ikhlas, tulus kejujuran integritas, kebenaran, kelurusan (hati), kepolosan, keterbukaan, ketulusan, kredibilitas, moral, validitas,

antonim : kecurangan,

Penguraian

Kejujuran atau jujur artinya apa-apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang dikatakan sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu dituntut satu kata dan perbuatan, yang berarti bahwa apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur berarti juga menepati janji atau kesanggupan yang terlampir melalui kata-kata ataupun yang masih terkandung dalam hati nuraninya yang berupa kehendak, harapan dan niat.

Secara sederhana, kejujuran bisa diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk mengekpresikan fakta-fakta dan keyakinan pribadi sebaik mungkin sebagaimana adanya. Sikap ini terwujud dalam perilaku, baik jujur terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri (tidak menipu diri), serta sikap jujur terhadap motivasi pribadi maupun kenyataan batin dalam diri seorang individu. Kualitas kejujuran seseorang meliputi seluruh perilakunya, yaitu, perilaku yang termanifestasi keluar, maupun sikap batin yang ada di dalam. Keaslian kepribadian seseorang bisa dilihat dari kualitas kejujurannya.

Kejujuran melibarkan motivasi-motivasi kita yang terdalam dan meliputi setiap segi kehidupan kita secara pribadi atau umum. Kejujuran mencakup kebenaran dalam setiap pengertiannya, dan integritas di dalam batin seseorang. Kejujuran menuntut seseorang untuk mengesampingkan dusta, penipuan, penyontekan, fitnah dan tipu daya.


Dampak dari Kejujuran

• Dapat Dipercaya

• Mencegah perseteruan, pertengkaran, percekcokan, perselisihan dan berujung pada penghilangan nyawa seorang manusia. Mencegah kehancuran alam, ilegal logging yang berujung pada kemurkaan alam dengan longsor, banjir, semburan gas alam, semburan lumpur.

• Masyarakat hidupnya akan sejahtera, kejujuran dalam menjalankan roda pemerintahan akan berdampak pada kesejahteraan hidup masyarakat. Transparansi dalam penggelolaan keungan, akan mencegah terjadinya ketidakjujuran.

• Pelayanan kita diberkati dan berkenan dihadapan Tuhan. Pelayanan yang mengutamakan kejujuran adalah hal yang berkenan dihadapan Tuhan. Pelayanan yang penuh dengan manipulasi tentu tidak berkenan dihadapan Tuhan.

• Menghindari kita dari mementingkan diri sendiri/serakah. Orang memiliki sifat jujur cendeerung akan peduli kepada kepentingan orang lain, dan tidak mementingkan diri sendiri atau kelompoknya.


Pandangan Alkitab

Alkitab tidak memberikan suatu standar mutlak tentang kejujuran. Kita tidak menemukan satu bagian Alkitab yang memberi jawaban yang jelas yang berhubungan dengan kejujuran. Tetapi Alkitab banyak memberi petunjuk dan perintah yang berhubungan dengan kejujuran, terutama yang berhubungan dengan prinsip-prinsip umum. Roh kudus dapat menggunakan setiap-prinsip itu untuk menggerakkan hati nurani kita supaya dapat membedakan apa yang jujur dan benar.

Ada beberapa contoh dalam Alkitab yang berhubungan dengan kejujuran:

Tokoh Alkitab yang memiliki Kejujuran:

• Yesus (1 Petrus 2:22). Kita mempunyai Yesus sebagai teladan, khususnya dalam hal kejujuran. Surat Petrus mencatat bahwa “tipu tidak ada dalam mulut-Nya”. Setiap orang percaya perlu memiliki kejujuran, seperti Yesus Kristus.

• Hizkia. Ia adalah salah satu raja Yehuda yang terkemuka. Hizkia terkenal karena kesalehannya yang luar biasa. Alkitab mencatat: “Ia melakukan apa yang baik, apa yang jujur, dan apa yang benar di hadapan TUHAN, Allahnya (2 Taw 31:20-21; Yes 38:3). Kesungguhan dan kepasrahannya kepada Tuhan tidak dapat diragukan (2 Raja-raja 18:5,6).

• Natanael. Dia berasal dari Kana di Galilea. Dia dibawa oleh Filipus kepada Yesus. Dia mengakui bahwa Yesus adalah Allah dan Raja Israel. Ini pengakuan dari orang Israel sejati, yang tidak ada kepalsuan didalamnya. Yesus sendiri mengatakan bahwa tidak ada kepalsuan di dalamnya (Yoh 1:4)

• Paulus. Ia menulis komitmennya untuk mengurus secara jujur uang yang diberikan orang-orang percaya untuk suatu dana bantuan bagi orang-orang kekurangan (2 Kor 8:21). Paulus juga mengatakan bahwa aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta (Roma 9:1). Paulus menyebut hati nuraninya dan Roh Kudus sebagai saksi-saksi bahwa ia mengatakan kebenaran.

• Ayub. Ayub 1: 8, Kitab Ayub menceritakan bahwa ayub adalah orang yang saleh dan jujur (1:1). Ayub taat dan setia beribadah kepada Allah, bermoral, takut akan Allah dan menjauhi kejatahan. Kebaikan, kejujuran dan kesalehan ayub tidak disangsikan lagi karena Allah sendiri yang memuji kejujuran Ayub (1:8).


Kejadian dalam Alkitab yang berhubungan dengan kejujuran

• Keluaran 3:9; Efesus 4:25; dusta merusak kepercayaan seseorang kepada orang yang mendustainya. Dan setelah kepercayaan itu hilang, maka akan sangat sulit memulihkan hubungan itu kembali. Kebiasaan berdusta biasanya berkembang secara halus sehingga kebiasaan tersebut terus berlangsung tanpa diperhatikan. Kita mulai berdusta tentang hal-hal kecil yang kita pikir tidak jadi masalah

• Kis 5:1-11, belajar dari kisah Ananias dan Safira, di mana kebohongan mereka akan mempengaruhi orang-orang Kristen mula-mula. Suami-istri menjual sebidang tanah dan menyimpan sebagian uangnya untuk mereka sendiri serta membawa sisanya kepada rasul sebagai persembahan. Apa yang salah dalam kasus ini, mereka tidak salah karena menyimpan sebagian uangnya, tetapi yang salah adalah tipu daya yang mereka lakukan. Mereka berusaha membuat orang-orang percaya bahwa mereka telah memberikan segalanya.

• Yeremia 9:1-9, kondisi masyarakat yang didirikan atas dasar penipuan.

• Titus 2:; Paulus menasehatkan kita harus menjadi contoh dalam hal kejujuran. Jujur dalam menyampaikan pengajaran, dengan bersikap jujur maka akan menutup celah untuk kita mendapat malu, atau hal-hal yang dapat menjatuhkan kita.


Prinsip Pengembangan

Proses pengembangan kejujuran harus dimulai dari keluarga. Keluarga merupakan tempat ideal untuk menanamkan sifat kejujuran. Jika sifat jujur sudah ditanamkan sejak dini dalam keluarga, maka dampaknya akan membentuk setiap anggota keluarga, khususnya dalam kejujuran. Anak yang dari kecil diajarkan untuk berkata jujur, maka sifat tersebut akan membentuk pola hidupnya untuk selalu berkata jujur. Untuk mencapai hasil tersebut, tentu harus dimulai dari orangtua yang akan menjadi contoh bagi anak-anaknya, tetapi sering kali yang terjadi adalah orangtua tidak dapat menjadi contoh bagi anggota keluarganya.

Contoh kasus yang terjadi dalam keluarga, disadari atau tidak disadari bohong kecil sudah dianggap lumrah, misalnya dalam keluarga, karena malas untuk menemui tamu, kita meminta tolong kepada anak kita untuk mengatakan kepada tamu bahwa kita tidak ada. Bagi orangtua hal ini tidak apa-apa, tetapi tanpa orangtua sadari, apa yang mereka lakukan akan ditiru oleh anaknya. Jadi tidak heran kalau kelak hal yang sama juga dilakukan anak ketika sudah dewasa dan berkeluarga. Orangtua harus menyadari resikonya.

Hal lain, seperti kebiasaan orang tua menjanjikan sesuatu yang pastinya tidak dapat ditepati, untuk menutupi kesalahannya orang tua sering kali memberi alasan yang berbohong. Anak kecil pintar sekali meniru apa yang dilihat, dan kebohongan dari tingkah laku dan perkataan yang dilakukan orang tua juga akan menanamkan kebohongan dalam mental anak kecil tersebut. Apapun itu bentuk kebohongannya sekalipun dalam hal kecil, itu semua terekam dalam memori sang anak.

Dampak dari apa yang dialami oleh anak di dalam lingkungan keluarga, akan terbawa ketika anak-anak sudah dewasa dan terjun ke dalam masyarakat, misalnya, nyontek sudah dianggap hal biasa, ketidakjujuran akademis seperti kegiatan jiplak-menjiplak, serta contek-mencontek dalam ujian, sudah dianggap lumrah.

Pakar Etika Lewis Smedes berpendapat bahwa kejujuran penting karena: kejujuran membangun kepercayaan, kejujuran mengembangkan masyarakat, dan kejujuran melindungi martabat penontonnya. Tanpa kejujuran dalam komunikasi, maka kepercayaan itu tidak mungkin ada. Reputasi baik yang dibentuk bertahun-tahun dapat hancur dalam sekejap hanya karena satu tindakan ketidakjujuran. Kejujuran dapat melindungi masyarakat dalam arti jika individu dalam masyarakat saling percaya, maka jaringan hubungan akan terbentuk. Kejujuran harus diperjuangkan, jika kejujuran rusak, maka masyarakat secara keseluruhan akan menderita. Masyarakat yang tidak memiliki sikap jujur akan berubah menjadi masyarakat yang berbudaya penipu.

Peran keluarga sangat sentral dalam pembentukan watak dan tata nilai, masih ada generasi berikutnya yang harus kita jaga. Biarkan anak-anak tumbuh dalam iklim kejujuran yang mendukungnya. Dimulai dari anak yang jujur, keluarga yang jujur, akan melahirkan masyarakat yang jujur. Dan tentu kita inginkan masyarakat yang jujur akan melahirkan pemerintahan dan aparat yang jujur.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan supaya nilai kejujuran itu terus mewarnai kehidupan kita.

• Nilai Kejujuran seharusnya mulai dibina dari sejak kecil. Dengan menanamkan nilai kejujuran sejak usia dini, kelak anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang utuh.

• Menempatkan kejujuran sebagai suatu nilai yang sangat penting dalam kehidupan keluarga. Kejujuran adalah modal dasar dan utama untuk dapat dipercaya. Tanpa kejujuran, maka akan sulit untuk memperoleh kepercayaan.

• Hidup dalam kebenaran (Yes. 33:15; Amsal 11:3). Kejujuran melibatkan cara hidup yang benar dan pola pemikiran yang patut yang akan menghasilkan gaya hidup yang patut dipuji dan dihormati.

• Hidup dalam takut akan Tuhan. Banyak warga negara yang menipu pemerintah dengan menyerahkan laporan keuangan yang palsu ketika mereka akan membayar pajak. Mereka lebih takut kepada pemerintah dari pada takut kepada Tuhan.

• Membiasakan diri untuk berkata jujur. Jika kita membiasakan diri berkata jujur kita tidak akan terperangkap dalam kebohongan. Dengan selalu berkata jujur akan membawa ketenangan dalam hati. Dengan selalu berkata jujur kita akan menemukan diri kita yang sebenarnya

• Kita harus berani menyatakan kebenaran tanpa peduli akibat-akibatnya. Petrus dan Yohanes berkata: “Sebab tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar" (Kis 4:20).

• Melawan hikmat duniawi 2 Kor 1:12; meghindari hal-hal yang bertentangan dengan Firman Tuhan. Berani berkata jujur walaupun secara duniawi akan merugikan dirinya. Misalnya dalam dunia usaha dengan memanipulasi harga yang dapat merugikan orang lain.


Aplikasi bagi saya

Bagi saya pribadi kejujuran adalah sesuatu yang sangat penting, karena tanpa kejujuran dalam menjalani kehidupan ini hanya akan dipenuhi dengan kemunafikan dan topeng-topeng kepalsuan. Saya akui bahwa belum sempurna dalam hal ini, tetapi saya terus berusaha belajar memperbaiki ketika melakukan hal-hal yang tidak jujur. Mungkin yang masih menjadi pergumulan saya adalah tanpa saya sadari seringkali saya tidak menepati apa yang saya janjikan kepada anak-anak saya. misalnya, saya janji mereka untuk jalan-jalan pada sore hari, tetapi karena kelelahan dan kesibukan kerja akhirnya saya tidak menepati apa yang telah dijanjikan. Hal ini sudah terjadi beberapa kali dan anak saya selalu mengatakan papa bohong. Saya menyadari hal ini salah, saya terus belajar dari kesalahan-kesalahan ini dengan berusaha untuk menepati apa yang saya janjikan kepada anak-anak saya.

Sering kali tanpa saya sadari, anak terus mengamati dan meniru apa yang saya lakukan. Anak melihat saya sebagaimana adanya saya sebagai orang tuanya. Saya terus berusaha menanamkan hal-hal yang baik berhungan dengan pembentukan watak dan tata nilai, karena saya menyadari ketika kelak mereka dewasa anak akan membandingkan norma-norma yang diajarkan kepada mereka dengan norma-norma kehidupan orangtua mereka. Tindakan-tindakan orangtua membawa kesan yang dalam pada diri anak-anak yang tidak dapat diubah dengan kata-kata. Sebagai kepala keluarga, saya terus berdoa Tuhan mampukan supaya dapat menjadi teladan yang baik bagi istri dan kedua anak saya dalam hal kejujuran.

Walaupun kejujuran sering tidak mudah atau tidak menguntungkan, namun harus disadari bahwa kejujuran merupakan jalan kehidupan yang penuh kekudusan, keadilan, dan kasih.
Baca Terusannya »»  

Berita Terkini

« »
« »
« »
Get this widget

Daftar Blog Saya

Komentar