Nats: Matius 5:3
Kebanyakan orang percaya bahwa kebahagiaan akan diperoleh ketika kita memiliki harta yang banyak atau kaya. Akan tetapi kenyataannya, tetap tidak bahagian tatkala sudah memiliki apa yang dianggap dapat membahagiakan. Kalau kita mau jujur, tidak semua orang mampu merasakan dan menikmati kebahagiaan di dalam hidupnya. Ada banyak orang yang kaya di dalam dunia ini, ada banyak orang pintar di dalam dunia ini, ada banyak keluarga yang kelihatan luarnya bahagia tapi sebelah dalamnya menderita, ada orang yang tidak bahagia saat belum menikah akan tetap tidak bahagia bila sudah menikah, orang yang tidak bahagia saat menjadi karyawan biasa akan tetap tidak bahagia saat menjadi direktur, orang yang tidak bahagia saat punya motor akan tetap tidak bahagia saat punya mobil, Pendeta yang tidak bahagia saat mengembalakan 50 orang jemaat akan tetap tidak bahagia saat ia mengembalakan 5000 orang jemaat. Setelah punya sepeda kita ingin punya motor, setelah punya motor kita ingin mobil, setelah punya mobil kita ingin punya kapal dan seterusnya sebab hati kita tidak akan pernah puas. Mengapa? Karena kita tidak memiliki kebahagiaan yang sejati. Sehingga apapun yang kita usahakan untuk menciptakan kebahagiaan di dalam hidup kita tetap tidak bisa. Penyebab utama mengapa kita tidak merasa bahagia sebab kita memusatkan perhatian pada apa yang kita tidak miliki bukan pada apa yang kita miliki.
Dalam khotbahnya di bukit, Tuhan Yesus mengawali khotbahnya dengan ucapan-ucapan berkat. Setiap berkat yang diucapkan Yesus mempunyai tujuan untuk menunjukkan siap yang benar-benar dapat disebut berbahagia, dan seperti apa watak mereka. Dalam khotbahnya Tuhan Yesus memberikan delapan sifat orang yang diberkati atau berbahagia. Dalam tulisan ini kita akan melihat salah satu dari berkat itu, yaitu “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga (Mat. 5: 3). Apa arti miskin di hadapan Allah?
Kata “bahagia” berasal dari kata makarios, yang berarti blessed atau “sukacita.” Namun kata “bahagia” yang agaknya lebih mempunyai nuansa Kristen, menunjuk pada sukacita dalam hati dan kehidupan seseorang, bukan yang ditentukan oleh faktor luar atau lahiriah, melainkan karena adanya karya Allah dalam Kristus yang dikaruniakan kepadanya. “Miskin di hadapan Allah.” Dalam bahasa Yunani ada dua kata untuk “miskin.” Yang pertama ialah penes, yaitu miskin dalam arti tidak kaya, tidak mempunyai banyak harta, hidup sederhana. Yang kedua ialah ptokhos, yaitu miskin dalam arti sangat miskin, miskin yang tidak mempunyai apa-apa, miskin dalam arti yang apabila tidak ditolong ia akan mati kelaparan. Kata ptokhos inilah yang dipakai oleh Tuhan Yesus dalam kalimat di atas: “miskin di hadapan Allah.” Frasa “di hadapan Allah” sebetulnya adalah “dalam roh” atau “in the spirit.” Maka kalimat itu sebenarnya berarti barangsiapa yang secara rohani merasa begitu miskin dan sepenuhnya tergantung kepada Allah, orang itulah yang disebut “berbahagia.” Karena kemiskinan secara rohani itulah seseorang akan berseru minta tolong kepada Allah, maka Allah akan berkenan menolong dia dan menganugerahkan Kerajaan Sorga kepadanya. “Sebab, barang siapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan!” (Rm. 10: 13).
Jadi kita mengerti bahwa miskin itu sendiri tidaklah membawa kebahagiaan pada seseorang. karena yang dimaksud Yesus ialah miskin secara rohani di hadapan Allah. Orang yang demikian secara naluri akan berseru minta tolong kepada Allah. Maka Allah yang Mahakasih dan Mahamurah pasti akan menyelamatkan orang itu dengan mengaruniakan Kerajaan Sorga kepadanya. Pemazmur mengatakan: “Orang yang miskin berseru, dan Tuhan mendengar, Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya” (34:7). Kata “empunya” adalah dalam bentuk present, yang berarti pada waktu seseorang merasa dirinya begitu miskin di hadapan Allah dan berseru kepada Allah, maka pada saat itulah ia memiliki Kerajaan Sorga. Hal ini berbicara tentang aspek kekinian dari Kerajaan Sorga. Namun kita mengerti bahwa Kerajaan Sorga juga mempunyai aspek yang akan datang atau future, yang berarti satu hari kelak kita pasti akan memiliki Kerajaan Sorga secara penuh. Dunia mengatakan: “Berbahagialah orang yang kaya, karena merekalah yang empunya kerajaan dunia.” Tetapi Yesus mengatakan: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Inilah perbedaan hakiki antara ajaran Kristus dan ajaran dunia, antara filsafat Kristen dan filsafat dunia.
Kita tidak sedang membicarakan bahwa untuk menjadi bahagia kita tidak boleh memiliki harta benda, keluarga, sahabat dan jabatan di dunia ini. Bukan itu, miskin di hadapan Allah bukan berarti miskin secara materi melainkan sikap hati kita yang tidak menaruh kebahagiaan pada harta dunia ini. Orang yang miskin secara materi bisa saja tidak miskin di hadapan Allah bila sikap hatinya masih menaruh kebahagiaan pada harta dunia. Abraham merupakan orang yang miskin di hadapan Allah meskipun ia memiliki harta dunia yang melimpah sebab ia tidak menaruh kebahagiaannya pada harta yang ia miliki bahkan anak semata wayangnya saja rela ia persembahkan kepada Allah.
Allah menghendaki manusia miskin di hadapan-Nya, bukan miskin di hadapan manusia. Miskin di hadapan Allah sebenarnya kita membutuhkan Tuhan untuk memberi kekuatan dan berkat-berkat dalam hidup kita. Sehingga kehausan, kelaparan, penderitaan, kekurangan kita dapat dipenuhi oleh Tuhan. Itupun dibutuhkan suatu kemauan yang sungguh untuk mencari dan mau dituntun oleh cara Allah dan penilaian Allah sendiri yang dinyatakan dalam Firman-Nya dan bukan oleh cara dan nilai dunia ini.
Mari kita selidiki hati kita. Sadarilah bahwa kebahagiaan sebenarnya hanya didapat ketika kita sungguh-sungguh hidup di dalam Tuhan. Kemiskinan itu bukan alasan untuk tidak bisa menikmati kebahagiaan. Justru di dalam kemiskinan itu, Yesus mengatakan, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah".
Kebanyakan orang percaya bahwa kebahagiaan akan diperoleh ketika kita memiliki harta yang banyak atau kaya. Akan tetapi kenyataannya, tetap tidak bahagian tatkala sudah memiliki apa yang dianggap dapat membahagiakan. Kalau kita mau jujur, tidak semua orang mampu merasakan dan menikmati kebahagiaan di dalam hidupnya. Ada banyak orang yang kaya di dalam dunia ini, ada banyak orang pintar di dalam dunia ini, ada banyak keluarga yang kelihatan luarnya bahagia tapi sebelah dalamnya menderita, ada orang yang tidak bahagia saat belum menikah akan tetap tidak bahagia bila sudah menikah, orang yang tidak bahagia saat menjadi karyawan biasa akan tetap tidak bahagia saat menjadi direktur, orang yang tidak bahagia saat punya motor akan tetap tidak bahagia saat punya mobil, Pendeta yang tidak bahagia saat mengembalakan 50 orang jemaat akan tetap tidak bahagia saat ia mengembalakan 5000 orang jemaat. Setelah punya sepeda kita ingin punya motor, setelah punya motor kita ingin mobil, setelah punya mobil kita ingin punya kapal dan seterusnya sebab hati kita tidak akan pernah puas. Mengapa? Karena kita tidak memiliki kebahagiaan yang sejati. Sehingga apapun yang kita usahakan untuk menciptakan kebahagiaan di dalam hidup kita tetap tidak bisa. Penyebab utama mengapa kita tidak merasa bahagia sebab kita memusatkan perhatian pada apa yang kita tidak miliki bukan pada apa yang kita miliki.
Dalam khotbahnya di bukit, Tuhan Yesus mengawali khotbahnya dengan ucapan-ucapan berkat. Setiap berkat yang diucapkan Yesus mempunyai tujuan untuk menunjukkan siap yang benar-benar dapat disebut berbahagia, dan seperti apa watak mereka. Dalam khotbahnya Tuhan Yesus memberikan delapan sifat orang yang diberkati atau berbahagia. Dalam tulisan ini kita akan melihat salah satu dari berkat itu, yaitu “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga (Mat. 5: 3). Apa arti miskin di hadapan Allah?
Kata “bahagia” berasal dari kata makarios, yang berarti blessed atau “sukacita.” Namun kata “bahagia” yang agaknya lebih mempunyai nuansa Kristen, menunjuk pada sukacita dalam hati dan kehidupan seseorang, bukan yang ditentukan oleh faktor luar atau lahiriah, melainkan karena adanya karya Allah dalam Kristus yang dikaruniakan kepadanya. “Miskin di hadapan Allah.” Dalam bahasa Yunani ada dua kata untuk “miskin.” Yang pertama ialah penes, yaitu miskin dalam arti tidak kaya, tidak mempunyai banyak harta, hidup sederhana. Yang kedua ialah ptokhos, yaitu miskin dalam arti sangat miskin, miskin yang tidak mempunyai apa-apa, miskin dalam arti yang apabila tidak ditolong ia akan mati kelaparan. Kata ptokhos inilah yang dipakai oleh Tuhan Yesus dalam kalimat di atas: “miskin di hadapan Allah.” Frasa “di hadapan Allah” sebetulnya adalah “dalam roh” atau “in the spirit.” Maka kalimat itu sebenarnya berarti barangsiapa yang secara rohani merasa begitu miskin dan sepenuhnya tergantung kepada Allah, orang itulah yang disebut “berbahagia.” Karena kemiskinan secara rohani itulah seseorang akan berseru minta tolong kepada Allah, maka Allah akan berkenan menolong dia dan menganugerahkan Kerajaan Sorga kepadanya. “Sebab, barang siapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan!” (Rm. 10: 13).
Jadi kita mengerti bahwa miskin itu sendiri tidaklah membawa kebahagiaan pada seseorang. karena yang dimaksud Yesus ialah miskin secara rohani di hadapan Allah. Orang yang demikian secara naluri akan berseru minta tolong kepada Allah. Maka Allah yang Mahakasih dan Mahamurah pasti akan menyelamatkan orang itu dengan mengaruniakan Kerajaan Sorga kepadanya. Pemazmur mengatakan: “Orang yang miskin berseru, dan Tuhan mendengar, Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya” (34:7). Kata “empunya” adalah dalam bentuk present, yang berarti pada waktu seseorang merasa dirinya begitu miskin di hadapan Allah dan berseru kepada Allah, maka pada saat itulah ia memiliki Kerajaan Sorga. Hal ini berbicara tentang aspek kekinian dari Kerajaan Sorga. Namun kita mengerti bahwa Kerajaan Sorga juga mempunyai aspek yang akan datang atau future, yang berarti satu hari kelak kita pasti akan memiliki Kerajaan Sorga secara penuh. Dunia mengatakan: “Berbahagialah orang yang kaya, karena merekalah yang empunya kerajaan dunia.” Tetapi Yesus mengatakan: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Inilah perbedaan hakiki antara ajaran Kristus dan ajaran dunia, antara filsafat Kristen dan filsafat dunia.
Kita tidak sedang membicarakan bahwa untuk menjadi bahagia kita tidak boleh memiliki harta benda, keluarga, sahabat dan jabatan di dunia ini. Bukan itu, miskin di hadapan Allah bukan berarti miskin secara materi melainkan sikap hati kita yang tidak menaruh kebahagiaan pada harta dunia ini. Orang yang miskin secara materi bisa saja tidak miskin di hadapan Allah bila sikap hatinya masih menaruh kebahagiaan pada harta dunia. Abraham merupakan orang yang miskin di hadapan Allah meskipun ia memiliki harta dunia yang melimpah sebab ia tidak menaruh kebahagiaannya pada harta yang ia miliki bahkan anak semata wayangnya saja rela ia persembahkan kepada Allah.
Allah menghendaki manusia miskin di hadapan-Nya, bukan miskin di hadapan manusia. Miskin di hadapan Allah sebenarnya kita membutuhkan Tuhan untuk memberi kekuatan dan berkat-berkat dalam hidup kita. Sehingga kehausan, kelaparan, penderitaan, kekurangan kita dapat dipenuhi oleh Tuhan. Itupun dibutuhkan suatu kemauan yang sungguh untuk mencari dan mau dituntun oleh cara Allah dan penilaian Allah sendiri yang dinyatakan dalam Firman-Nya dan bukan oleh cara dan nilai dunia ini.
Mari kita selidiki hati kita. Sadarilah bahwa kebahagiaan sebenarnya hanya didapat ketika kita sungguh-sungguh hidup di dalam Tuhan. Kemiskinan itu bukan alasan untuk tidak bisa menikmati kebahagiaan. Justru di dalam kemiskinan itu, Yesus mengatakan, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah".