Saya Adrianus Pasasa, dilahirkan di Lion Kab. Tana Toraja. Latar belakang keluarga besar saya, ibu memiliki enam saudara di mana semuannya perempuan, karena hidup dizaman yang susah ibu saya dan saudara-saudaranya harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Bapak saya berasal dari keluarga yang cukup mapan sehingga dapat menempuh pendidikan tinggi. Bapak saya seorang pekerja keras, disela-sela tugasnya sebagai polisi, bapak juga membuka usaha rumah makan. Berbeda dengan ibu saya yang berasal dari keluarga yang hidup pas-pasan, sehingga ibu hanya tamat Sekolah Rakyat.
Saya bangga memiliki orang tua yang memiliki kepribadian yang baik, ibu dan bapak berasal dari keluarga baik-baik, namun hal itu tidak dapat kami nikmati sampai kami dewasa. Kebersamaan orang tua kami tidak dapat bertahan. Sebagai seorang Polisi Ayah selalu pindah Tugas, sehingga suatu saat jatuh ke dalam dosa perselingkuhan. Waktu itu kami masih kecil jadi belum tahu apa-apa, setelah dewasa baru saya memahami semua itu. Sejak itu ibu saya yang paling berperan dalam mendidik saya dan saudara-saudara saya. Kami tiga bersaudara dibesarkan tanpa kasih sayang dan figur seorang ayah. Sejak kecil kami hanya dibesarkan oleh kasih sayang seorang ibu. Ibu sangat ketat mendidik kami, supaya kami menjadi orang yang berhasil. Dalam mendidik kami ibu memiliki peran ganda sebagai seorang ibu dan juga berfungsi sebagai ayah. Jadi semua didikan didominasi oleh ibu, banyak nilai-nilai yang ditanamkan, misalnya ibu selalu menanamkan bagaimana menghargai hidup ini, hidup itu tidak mudah atau susah jadi harus berusaha dan bekerja keras supaya bisa dihargai orang. Ibu juga selalu menanamkan bagaimana menghargai orang lain, menolong orang lain, memiliki kepedulian kepada orang lain dan berbagi dengan orang lain.
Pola didikan yang saya terima dari ibu cukup keras, kami dituntut untuk bekerja membantu ibu setelah pulang sekolah. Tiap malam kami juga selalu diharuskan untuk belajar. Kami juga diajar untuk hidup teratur, semua sudah ada jadwalnya bangun pagi masak makanan babi, bersihkan kandang babi, setelah itu kami kesekolah, pulang sekolah bantu ibu ke ladang atau cari makanan babi, sore tumbuk padi untuk di masak, jadi semua serba teratur. Kegiatan ini rutin kami lakukan setiap hari. Dalam mendidik kami, ibu juga tidak segan-segan memukul dengan rotan kalau kami lalai mengerjakan tugas rumah atau bolos dari sekolah. Namun ibu juga memberikan penghargaan/pujian jika kami mengerjakan tugas-tugas kami dengan baik, dan juga diberi pujian jika kami mendapat nilai yang baik di sekolah. Dari kecil kami diajar untuk hidup mandiri, hidup prihatin, dan diajarkan untuk tetap tabah dan kuat dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan hidup. Untuk kesekolah saya harus jalan kaki 5 kilo setiap hari, walaupun capek ibu selalu memotivasi kami supaya tidak mudah menyerah, kami harus membuktikan walaupun hidup susah kami bisa berhasil.
Setelah tamat SD ibu melepaskan kami untuk mencari biaya makan dan biaya sekolah sendiri, karena ibu sudah tidak sanggup lagi membiayai kami. Awalnya kami menjadi pembantu di rumah orang sebagai penjual koran dan kasih makan babi, dari sini saya mendapat upah makan dan sedikit biaya untuk sekolah, saya pernah jadi kernet mobil saya terjatuh dan terseret jauh hingga keluar darah dari kepala saya tapi saat itupun tidak diobati hanya dikasih kopi saja, saya yakin sekali itu pertolongan Tuhan. Waktu-waktu luang saya gunakan untuk berdoa secara pribadi dan mengikuti organisasi pemuda di gereja, kadang dalam doa saya mengadu kepada Tuhan, mengapa kami harus mengalami semua ini. Tetapi dalam hati kecil saya mengatakan, Tuhan pasti mempunyai rencana yang indah buat keluarga kami, khususnya untuk saya. Pekerjaan di atas saya lalui bersama kakak dan adik saya sampai kami semua tamat SMA.
Nilai-nilai yang ibu saya tanamkan sejak kecil banyak sekali membentuk karakter saya, kebiasaan hidup teratur, bekerja keras, hidup disiplin dan mudah menolong orang lain. Satu pesan ibu saya yang terus menginspirasi hidup saya adalah: ”kata ibu saya, saya tidak memiliki harta yang saya tinggalkan buat kalian, tetapi satu pesan saya kemanapun kamu pergi hiduplah dalam takut akan Tuhan dan kalian hanya bertiga, kalian harus saling mengasihi” itulah pesan ibu saya yang tidak akan pernah saya lupakan. Ibu saya pun menjadi seorang yang tidak hanya baik bagi anak-anaknya tapi juga bagi keluarga dan orang-orang sekitarnya itu terbukti ketika ibu saya sudah terbaring sakit di rumah sakit orang-orang atau tetangganya datang setiap malam untuk menjeguk satu truk bergantian menjaga, saya sangat bersyukur ibu saya dikasihi oleh orang-orang di kampung, ketika ibu saya matipun harus melalui acara adat orang mati orang banyak datang untuk membantu proses pesta mati dengan sukarela, hingga beliau dikubur, melihat keadaan itupun menegaskan suatu pembelajaran bagi saya, jika kita menghargai orang, orangpun akan menghargai kita.
Mengenai ayah, saya tidak terlalu banyak mengenal dia secara mendalam, karena kami tidak hidup satu rumah. Walaupun demikian saya tetap menyayangi ayah. Saya menyadari, walaupun ayah kurang berperan dalam hidup saya, namun saya percaya bahwa tanpa ayah yang Tuhan pakai tidak mungkin saya ada di dunia ini.
Setelah saya hidup berumah tangga dan telah memiliki dua putra. Kadang saya tidak habis pikir begitu indah pertolongan Tuhan bagi saya. Saya dapat mengenal siapa Pribadi itu yang menolong saya melalui segala kesusahan hidup, yaitu Yesus Kristus. Satu hal yang saya petik: ”hidup adalah perjuangan”. Masih jelas dalam ingatan saya, untuk bisa makan saya harus tumbuk padi dulu hingga jadi beras baru bisa dimasak, terkadang tidak ada beras diganti dengan jagung, ubi jalar atau gadung (semacam ubi yang tumbuh di hutan). Bagi orang Toraja pendidikan itu bukan yang utama saya ingat ketika saya akan kuliah ayah saya berkata siapa suruh kamu kuliah kata-kata yang tidak ingin saya dengar keluar dari mulut ayah saya, saya harap dia akan mendukung. Walaupun ayah tidak mendukung tetapi hal itu tidak mematahkan semangat saya. Saya mengambil keputusan untuk ikut jejak kakak merantau ke Bandung. Di Bandung saya kuliah sambil bekerja. Saya bekerja dari pagi sampai sore, malamnya kuliah, puji Tuhan saya dapat memperoleh gelar Sarjana Teknik.
Tuhan telah menempatkan orang-orang disekitar saya untuk membentuk karakter saya. Ayah saya sekalipun beliau hidup tidak tinggal bersama-sama kami tapi ia sedikit banyak mempengaruhi karakter saya yaitu saya berjanji jika nanti saya berkeluarga saya akan melakukan peran saya sebagai seorang ayah dengan baik dan bertanggungjawab, belajar dari pengalaman pahit hidup tidak punya ayah walau beliau masih hidup. Di Bandung saya bertemu orang-orang yang juga senasib mempunyai latar belakang yang sama tidak merasakan kasih sayang seorang ayah, dan saya mampu memaafkan ayah saya secara total. Kalau saya renungkan kami dari keluarga yang tidak punya apa-apa, untuk makan saja tidak cukup, kalau bukan karena kemurahan dan pertolongan Tuhan tidak mungkin saya bisa melewati semua persoalan yang terjadi dalam hidup saya. Tetapi bagi saya tidak ada yang tidak mungkin di hadapan Tuhan Yesus, jika kita benar-benar percaya dan sejalan dengan kehendak-Nya.
Rasa empati saya kepada orang lain itu mungkin karena latar belakang saya, dan karena saya bisa berhasil juga karena orang lain peduli dengan saya. Maka dari awal saya berkomitmen ingin terjun ke bidang pelayanan yang sesuai dengan ilmu yang saya pelajari. Waktu masih kuliah, saya suka terlibat dengan kegiatan PMK diantaranya melakukan kegiatan bakti sosial dengan anak-anak jalanan. Mungkin karena kondisi kehidupan masa kecil saya yang penuh dengan keprihatinan, itulah yang membentuk kepribadian saya untuk selalu peduli dengan orang lain, tanpa memandang siapa dia.
Jika saya ingat kembali semua itu Tuhan membawa saya, membentuk pribadi saya menjadi pribadi yang takut akan Tuhan dan mengasihi Dia. Saya tidak tahu andai dahulu saya hidup dengan harta kekayaan ayah saya tentu saya tidak akan menjadi pribadi yang tangguh.
"Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa." (Yeremia 1:5)
Saya bangga memiliki orang tua yang memiliki kepribadian yang baik, ibu dan bapak berasal dari keluarga baik-baik, namun hal itu tidak dapat kami nikmati sampai kami dewasa. Kebersamaan orang tua kami tidak dapat bertahan. Sebagai seorang Polisi Ayah selalu pindah Tugas, sehingga suatu saat jatuh ke dalam dosa perselingkuhan. Waktu itu kami masih kecil jadi belum tahu apa-apa, setelah dewasa baru saya memahami semua itu. Sejak itu ibu saya yang paling berperan dalam mendidik saya dan saudara-saudara saya. Kami tiga bersaudara dibesarkan tanpa kasih sayang dan figur seorang ayah. Sejak kecil kami hanya dibesarkan oleh kasih sayang seorang ibu. Ibu sangat ketat mendidik kami, supaya kami menjadi orang yang berhasil. Dalam mendidik kami ibu memiliki peran ganda sebagai seorang ibu dan juga berfungsi sebagai ayah. Jadi semua didikan didominasi oleh ibu, banyak nilai-nilai yang ditanamkan, misalnya ibu selalu menanamkan bagaimana menghargai hidup ini, hidup itu tidak mudah atau susah jadi harus berusaha dan bekerja keras supaya bisa dihargai orang. Ibu juga selalu menanamkan bagaimana menghargai orang lain, menolong orang lain, memiliki kepedulian kepada orang lain dan berbagi dengan orang lain.
Pola didikan yang saya terima dari ibu cukup keras, kami dituntut untuk bekerja membantu ibu setelah pulang sekolah. Tiap malam kami juga selalu diharuskan untuk belajar. Kami juga diajar untuk hidup teratur, semua sudah ada jadwalnya bangun pagi masak makanan babi, bersihkan kandang babi, setelah itu kami kesekolah, pulang sekolah bantu ibu ke ladang atau cari makanan babi, sore tumbuk padi untuk di masak, jadi semua serba teratur. Kegiatan ini rutin kami lakukan setiap hari. Dalam mendidik kami, ibu juga tidak segan-segan memukul dengan rotan kalau kami lalai mengerjakan tugas rumah atau bolos dari sekolah. Namun ibu juga memberikan penghargaan/pujian jika kami mengerjakan tugas-tugas kami dengan baik, dan juga diberi pujian jika kami mendapat nilai yang baik di sekolah. Dari kecil kami diajar untuk hidup mandiri, hidup prihatin, dan diajarkan untuk tetap tabah dan kuat dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan hidup. Untuk kesekolah saya harus jalan kaki 5 kilo setiap hari, walaupun capek ibu selalu memotivasi kami supaya tidak mudah menyerah, kami harus membuktikan walaupun hidup susah kami bisa berhasil.
Setelah tamat SD ibu melepaskan kami untuk mencari biaya makan dan biaya sekolah sendiri, karena ibu sudah tidak sanggup lagi membiayai kami. Awalnya kami menjadi pembantu di rumah orang sebagai penjual koran dan kasih makan babi, dari sini saya mendapat upah makan dan sedikit biaya untuk sekolah, saya pernah jadi kernet mobil saya terjatuh dan terseret jauh hingga keluar darah dari kepala saya tapi saat itupun tidak diobati hanya dikasih kopi saja, saya yakin sekali itu pertolongan Tuhan. Waktu-waktu luang saya gunakan untuk berdoa secara pribadi dan mengikuti organisasi pemuda di gereja, kadang dalam doa saya mengadu kepada Tuhan, mengapa kami harus mengalami semua ini. Tetapi dalam hati kecil saya mengatakan, Tuhan pasti mempunyai rencana yang indah buat keluarga kami, khususnya untuk saya. Pekerjaan di atas saya lalui bersama kakak dan adik saya sampai kami semua tamat SMA.
Nilai-nilai yang ibu saya tanamkan sejak kecil banyak sekali membentuk karakter saya, kebiasaan hidup teratur, bekerja keras, hidup disiplin dan mudah menolong orang lain. Satu pesan ibu saya yang terus menginspirasi hidup saya adalah: ”kata ibu saya, saya tidak memiliki harta yang saya tinggalkan buat kalian, tetapi satu pesan saya kemanapun kamu pergi hiduplah dalam takut akan Tuhan dan kalian hanya bertiga, kalian harus saling mengasihi” itulah pesan ibu saya yang tidak akan pernah saya lupakan. Ibu saya pun menjadi seorang yang tidak hanya baik bagi anak-anaknya tapi juga bagi keluarga dan orang-orang sekitarnya itu terbukti ketika ibu saya sudah terbaring sakit di rumah sakit orang-orang atau tetangganya datang setiap malam untuk menjeguk satu truk bergantian menjaga, saya sangat bersyukur ibu saya dikasihi oleh orang-orang di kampung, ketika ibu saya matipun harus melalui acara adat orang mati orang banyak datang untuk membantu proses pesta mati dengan sukarela, hingga beliau dikubur, melihat keadaan itupun menegaskan suatu pembelajaran bagi saya, jika kita menghargai orang, orangpun akan menghargai kita.
Mengenai ayah, saya tidak terlalu banyak mengenal dia secara mendalam, karena kami tidak hidup satu rumah. Walaupun demikian saya tetap menyayangi ayah. Saya menyadari, walaupun ayah kurang berperan dalam hidup saya, namun saya percaya bahwa tanpa ayah yang Tuhan pakai tidak mungkin saya ada di dunia ini.
Setelah saya hidup berumah tangga dan telah memiliki dua putra. Kadang saya tidak habis pikir begitu indah pertolongan Tuhan bagi saya. Saya dapat mengenal siapa Pribadi itu yang menolong saya melalui segala kesusahan hidup, yaitu Yesus Kristus. Satu hal yang saya petik: ”hidup adalah perjuangan”. Masih jelas dalam ingatan saya, untuk bisa makan saya harus tumbuk padi dulu hingga jadi beras baru bisa dimasak, terkadang tidak ada beras diganti dengan jagung, ubi jalar atau gadung (semacam ubi yang tumbuh di hutan). Bagi orang Toraja pendidikan itu bukan yang utama saya ingat ketika saya akan kuliah ayah saya berkata siapa suruh kamu kuliah kata-kata yang tidak ingin saya dengar keluar dari mulut ayah saya, saya harap dia akan mendukung. Walaupun ayah tidak mendukung tetapi hal itu tidak mematahkan semangat saya. Saya mengambil keputusan untuk ikut jejak kakak merantau ke Bandung. Di Bandung saya kuliah sambil bekerja. Saya bekerja dari pagi sampai sore, malamnya kuliah, puji Tuhan saya dapat memperoleh gelar Sarjana Teknik.
Tuhan telah menempatkan orang-orang disekitar saya untuk membentuk karakter saya. Ayah saya sekalipun beliau hidup tidak tinggal bersama-sama kami tapi ia sedikit banyak mempengaruhi karakter saya yaitu saya berjanji jika nanti saya berkeluarga saya akan melakukan peran saya sebagai seorang ayah dengan baik dan bertanggungjawab, belajar dari pengalaman pahit hidup tidak punya ayah walau beliau masih hidup. Di Bandung saya bertemu orang-orang yang juga senasib mempunyai latar belakang yang sama tidak merasakan kasih sayang seorang ayah, dan saya mampu memaafkan ayah saya secara total. Kalau saya renungkan kami dari keluarga yang tidak punya apa-apa, untuk makan saja tidak cukup, kalau bukan karena kemurahan dan pertolongan Tuhan tidak mungkin saya bisa melewati semua persoalan yang terjadi dalam hidup saya. Tetapi bagi saya tidak ada yang tidak mungkin di hadapan Tuhan Yesus, jika kita benar-benar percaya dan sejalan dengan kehendak-Nya.
Rasa empati saya kepada orang lain itu mungkin karena latar belakang saya, dan karena saya bisa berhasil juga karena orang lain peduli dengan saya. Maka dari awal saya berkomitmen ingin terjun ke bidang pelayanan yang sesuai dengan ilmu yang saya pelajari. Waktu masih kuliah, saya suka terlibat dengan kegiatan PMK diantaranya melakukan kegiatan bakti sosial dengan anak-anak jalanan. Mungkin karena kondisi kehidupan masa kecil saya yang penuh dengan keprihatinan, itulah yang membentuk kepribadian saya untuk selalu peduli dengan orang lain, tanpa memandang siapa dia.
Jika saya ingat kembali semua itu Tuhan membawa saya, membentuk pribadi saya menjadi pribadi yang takut akan Tuhan dan mengasihi Dia. Saya tidak tahu andai dahulu saya hidup dengan harta kekayaan ayah saya tentu saya tidak akan menjadi pribadi yang tangguh.
"Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa." (Yeremia 1:5)
1 komentar:
Tulisan kisah hidupmu cukup mengugah hati, memang semuanya itu adalah hasil pertolongan Tuhan. Aku juga merasakan itu kawan. Terus mesyukuri apa yg kita dapat dan jagan lupa membantu orang lain. Amin..Andri jangan lupa add jadi follower ku. Slm buat istri anak2mu.
Posting Komentar