Nats: Kej. 2:20b-25/2:24; Mazmur 128; Pengkotbah 4:9-11
Ibadah: Syukuran Pernikahan Dosen STT SAPPI, 8 Desember 2011
oleh: Adrianus Pasasa, S.T, M.A
Waktu pulang makan siang ke rumah, saya memanggil anak saya yang kedua (namanya Adriel). Saya memberikan sepotong batang ubi kayu yang panjangnya kira-kira lima puluh centimeter. Setelah ia memegang, saya menyuruh untuk mematahkan batang ubi kayu tersebut, tanpa mengalami kesulitan dengan cepat batang pohon ubi itu patah terbagi dua di tangan anak saya. Kedua potongan itu kemudian saya satukan dan kembali saya menyuruh anak saya untuk mematahkan, ternyata setelah kedua potongan itu di satukan anak saya mengalami kesulitan untuk mematahkannya.
Saudaraku yang dikasihi Tuhan Yesus, demikian juga dengan kehidupan kita, jika seorang diri, tentu kita akan mengalami kelemahan, tetapi ketika kita bersatu akan menjadi lebih kuat. Apa yang dialami oleh pasangan yang sedang berbahagia pada malam ini, ada kekuatan baru ketika mereka sudah menjadi satu.
Dari bacaan kita hari ini, ada beberapa hal yang dapat kita pelajari yaitu:
1. Allah memanggil pasangan suami istri untuk bersatu/bukan atas keinginan mereka sendiri. Dikatakan bahwa seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging,( Kej 2:24)
1. Pergi (seorang pria akan meninggalkan ayah dan ibunya). Hal ini menyatakan bahwa akan terbentuk keluarga yang baru, di mana segala sesuatu tidak tergantung lagi kepada orang tua, tetapi mereka (keluarga baru) belajar untuk menyerahkan dirinya kepada Tuhan, untuk Tuhan menyatukan mereka.
2. Permanen (dan bersatu dengan istrinya). Tujuan bersatu untuk saling menolong, saling melengkapi, saling berbagi, dan saling memiliki (Pengkhotbah 4:9-11)
3. Kesatuan (dan mereka menjadi satu daging)
Ketiga unsur tersebut di atas membantu suatu pernikahan menjadi kuat.Dalam pandangan Allah, kita menjadi satu di Altar ketika kita mengucapkan janji pernikahan untuk sehidup semati. Namun dalam kenyataannya, kesatuan merupakan sebuah proses yang terjadi dalam periode waktu tertentu, setelah hidup bersama selamanya.
Menjadi satu dengan orang lain bisa menjadi sebuah proses yang sangat sulit. Tidak mudah untuk berubah dari orang yang mandiri dan egois menjadi orang yang mau menceritakan setiap aspek kehidupan kita dengan orang lain. Lain lagi jika kita memiliki latar belakang keluarga, agama, dan keuangan yang berbeda, tentu hal ini akan memakan waktu yang panjang untuk saling memahami.
Namun, tetapi harus dipahami bahwa menjadi satu bukan berarti menjadi sama.
Menjadi satu bukan berarti semua harus sama, seperti angkatan laut yang semua sama, cara berjalan, cara berpakaian, dan lain sebagainya.
Menjadi satu berarti, ditengah perbedaan ada sikap saling memahami, sikap saling menghormati, saling menghargai, semuanya ini dapat terwujud jika kasih Tuhan hadir di tengah perbedaan itu.
2. Kesatuan itu bisa terwujud, hanya jika kedua pasangan yang menikah harus meninggalkan keluarga mereka dan berharap kepada Allah untuk menyatukan mereka.
Dalam proses mewujudkan kesatuan, Pria sebagai kepala keluarga akan membantu terwujudnya kesatuan ini, ketika ia mengatakan bukan hanya mengatakan kepada istri bahwa ia adalah prioritas utama dirinya setelah Allah. Keluarga harus menjadi prioritas kedua setelah Allah. Demikian juga dengan istri, dia juga memiliki peran dalam mewujudkan kesatuan itu. Istri juga harus mengatakan kepada suami seberapa pentingnya suami bagi sang istri. Suami harus memahami bahwa istri akan menghargai, menghormati, dan mengasihi suami, hanya jika suami bertindak sesuai dengan peran sebagai suami. Jika posisinya terbalik, maka kesatuan yang didambakan tidak akan pernah terwujud, dan hal ini juga bertentangan dengan Alkitab. Posisi suami sebagai kepala, tidak boleh digantikan oleh istri.
Pasangan suami istri harus belajar mengkomunikasikan cinta dengan jelas kepada pasangannya, hal ini akan menolong untuk memperkuat ikatan pernikahan dan mendorongnya untuk mengasihi dan menghargai kita.
3. Membangun rumah tangga pasti mendambakan suatu kebahagiaan, kunci rumah tangga bahagia adalah Takut akan Tuhan (Mazmur 128).
a. Keluarga yang dibangun dilandasi dengan takut akan Tuhan, sebesar apapun gelombang yang menerpa keluarga, mereka akan tetap berdiri teguh, kokoh karena Yesus yang menjadi nahkoda keluarga.
b. Keluarga yang dilandasi dengan takut akan Tuhan, dikatakan mereka akan tenang menikmati rejeki/hasil keringat mereka. Keluarga akan diberkati dan berkat itu akan mereka nikmati dengan sukacita.
c. Keluarga yang dilandasi dengan takut akan Tuhan, dikatakan akan ada kesukaan di dalam keluarga. Sukacita akan memenuhi kehidupan mereka, walaupun dalam keadaan "kering" mereka tetap akan diliputi dengan kesukaan.
d. Keluarga yang dilandasi dengan takut akan Tuhan, dikatakan bahwa sampai anak cucu mereka akan diberkati
Saudaraku yang dikasihi dalam Tuhan Yesus, Allah yang memengggil suami istri untuk bersatu, dan Allah yang akan mempersatukan dan apa yang telah dipersatukan Allah, hanya maut yang boleh memisahkan. Namun apa yang telah dipersatukan Allah masih butuh proses yang panjang untuk menyatukan perbedaan-perbedaan di antara pasangan suami istri. Jika masing-masing menjalankan perannya dengan benar, maka tentu kesatuan yang didambahkan akan terwujud. Kesatuan itu akan mengantar kepada kebahagiaan, hanya jika rumah tangga yang dibangun dilandasi dengan sikap takut akan Tuhan, yang pada akhirnya kebahagiaan itu tidak hanya dinikmati oleh pandangan suami istri, tetapi akan terus berlanjut sampai anak cucu dari pasangan tersebut. Amin.