"DARI SABANG SAMPAI MERAUKE" MUNGKIN HANYA TINGGAL KENANGAN!
"Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia, Indonesia tanah airku aku berjanji padamu, menjunjung tanah airku, tanah airku Indonesia." Inilah syair lagu yang diciptakan oleh R. Suharjo. Sering saya nyanyikan ketika masih anak-anak di Sekolah Dasar bahkan sampai di bangku SMU. Dulu, saat menyanyikan lagu ini, di relung hati terdalam muncul perasaan bangga sebagai anak kandung Indonesia. Bulu kuduk saya berdiri. Semangat patriotisme membara di sanubari. Namun jujur saya katakan, kini, tatkala menyanyikannya, bukan lagi ada getaran bangga menggelegar, justru ada rasa pilu mengiris dada. Jantung berdetak kencang. Pesimisme mengental di dada saya. Saya yakin jikalau pencipta lagu ini masih hidup, dia pasti merintih pilu melihat kondisi negeri ini.
Memasuki pertengahan tahun 1998, seluruh rakyat Indonesia mulai menghirup udara segar reformasi. Beda betul dengan zaman ORBATO (ORde baru di BAwah SoeharTO), rakyat hidup serba takut. Rakyat kegirangan dan bebas bagai rusa hutan masuk kampung. Kita tidak usah berdebat tentang era reformasi lebih baik atau lebih buruk dari era orbato. Itu membuang-buang energi saja. Sebab sejak Indonesia merdeka sampai hari ini sebagian besar rakyatnya belum dapat menikmati kemerdekaan dari kemiskinan dalam arti luas. Yang sejahtera hanyalah para pemimpin. Sebagian besar rakyat Indonesia sampai detik ini tetap miskin. Dan selalu terpinggirkan. Terinjak-injak. Ironis, yang mewakili rakyat justru memiliki pendapatan miliaran rupiah setiap tahun, sementara rakyat yang katanya mereka wakili, ada 70 juta jiwa masih terus terseok-seok bergumul saban hari untuk mencari sesuap nasi. (Vivanews. Rabu, 12 Januari 2011, 12:56 WIB.Nur Farida Ahniar). Dan kondisi negeri kita makin diperburuk lagi dengan ulah para pemimpin saat ini yang semakin memuakkan hati rakyat. Pemimpin yang semestinya menjadi teladan dalam soal bajik dan bijak bagi rakyat, kini menjadi telah edan. Amat memilukan dan memalukan apa yang dikemukakan seorang ahli Indonesia dari Northwestern University AS, Prof. Jeffry Winters bahwa sistem demokrasi yang sekarang dikuasai para maling. Hanya mereka yang punya uang banyak yang bisa naik. Setelah berkuasa, mereka kembali maling untuk mengembalikan sekaligus meraup untung dari investasi yang dikeluarkan. Yang terjadi seperti lingkaran setan. (http://www.rimanews.com/read/20110810/37576/jeffry-winters-negeri-ini-dikuasai-maling). Bukan cuma itu. Camkan baik-baik, hutang Indonesia sudah mencapai Rp 1796 triliun. Bila dibebankan kepada setiap rakyat Indonesia, maka setiap orang harus menanggung utang sebesar Rp. 74 juta (RMOL, Ninding Julius Permana, Kamis, 28 Juli 2011 , 10:50:00 WIB). Hutang sudah seabrek-abrek begitu masih dirampok oleh para pejabat. Simak saja laporan Carolina Damanik yang menyebutkan ada 17 orang Gubernur dari 33 orang tersangka korupsi. Bayangkan ada 50% dari jumlah seluruh Gubernur di Indonesia (33 Propinsi) adalah maling. Dan ada 138 orang Bupati/Wali Kota dari 497 Kabupaten/kota yang juga berstatus tersangka korupsi. (http://sosbud.kompasiana.com/2011/01/18/138-bupatiwalikota-17-gubernur-tersangka-korupsi-fantastik/). Belum lagi para maling yang merajalela dalam proyek-proyek APBN. Quo Vadis Indonesia?
Jika seluruh komponen bangsa ini terutama para eksekutif, legislatif, dan yudikatif di negeri ini tidak melahirbarukan rasa dan sikap nasionalisme NKRI-nya di dada dan kepala mereka, maka dalam keyakinan saya, tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, kita sudah tidak dapat lagi menyanyikan lagu "Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia." Rantai ratna mutu manikam akan putus berantakan. Semoga saja keyakinan saya hanyalah ilusi. Mengapa saya merasa demikian pesimistis? Ada beberapa fenomena yang saya cermati telah menjadi stimulator disintegrasi NKRI. Pertama, telah terjadi kesalahan serius yang dilakukan pemerintah dan wakil rakyat kita di masa lalu, yang telah memberikan hak sangat-sangat istimewa kepada Propinsi NAD dibandingkan dengan puluhan propinsi lainnya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sebagai orang awam politik, saya mengamati ini naif dan berbahaya. Bom waktu pasti meledak. Lambat namun pasti NAD akan lepas bagai burung terbang ke angkasa. Lihat saja pemda Aceh ingin sekali mengibarkan bendera bintang bulan sebagai benderanya sendiri. Puluhan propinsi lainnya akan terbakar cemburu dengan perlakuan istimewa ini. Lihat saja tanda-tandanya sudah nampak. Fakta mulai muncul sebagaimana para akademisi di Universitas Sumatera Utara (USU) yang baru-baru ini menggemakan revolusi pemikiran untuk Sumatera Utara merdeka dari NKRI. Bukan tidak mungkin daerah lain ingin melakukan hal yang sama. Apalagi dari dulu ada beberapa daerah yang memang kebelet ingin merdeka! Kedua adalah maraknya euforia otonomi daerah sehingga pemerintah daerah tergiur membuat peraturan-peraturan daerah (PERDA) berdasarkan syariat agama tertentu. Ini virus mematikan yang lebih berbahaya dari virus flu burung. PERDA-PERDA ini adalah suatu upaya pengelompokkan sistematik manusia Indonesia ke dalam kotak-kotak permusuhan dan penjajahan gaya baru terhadap kelompok yang dianggap minoritas. Akibatnya, kerukunan internal masyarakat saat ini mulai terpecah belah. Saat ini nuansa disintegrasi masyarakat sudah dirasakan. Ketiga, ketidakdewasaan berpolitik para politisi negeri ini merupakan stimulan efektif terhadap disintegrasi bangsa. Dalam era reformasi yang terlihat adalah ketidakmampuan eksekutif dan legislatif bergandengan tangan sebagai manusia dewasa untuk membangun visi misi keindonesiaan yang sejati. Eksekutif dan legislatif tidak pernah akur duduk sehati, seroh, sejiwa dalam memikirkan akan dibawa ke mana negeri puluhan ribu pulau ini. Yang terjadi adalah adegan politik berselera rendah dan bernafsu murahan. Gontok-gontokan bagai preman jalanan. Politik uang tetap masih menjadi gaya berpolitik di negeri ini. Sidang-sidang di dalam gedung DPR RI diwarnai gelegar suara penuh teriakan bagai orang senewen dan kepalan tangan bak petinju yang rakus menonjok musuh. Yang ditonjolkan adu politik bukan adu visi misi yang dibingkai oleh program-program berhati nurani bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Kondisi ini hanya akan membuat Indonesia berputar-putar di tempat. Pusing tujuh keliling. Akhirnya habis nafas. Kolaps. Apakah eksekutif dan legislatif kita mau mengubah dirinya? Moga-moga saja mau. Keempat, motivasi utama mendirikan partai dan mencapai puncak tertinggi dalam jabatan kepartaian adalah untuk meraup kuasa dan uang an sich. Bukan meraih kuasa demi menyejahterakan rakyat. Kalaupun untuk kesejahteraan. Itu untuk kesejahteraan rakyat tertentu. Bukan untuk seluruh rakyat Indonesia. Kawan separtai diusung menduduki BUMN-BUMN sebagai mesin uang bagi partai politiknya. Setiap orang yang merasa diri sebagai pemimpin dengan berbagai cara membentuk partai politik nasional maupun agamis sebagai kendaraan untuk mencapai puncak kekuasaan yang ujung-ujungnya adalah materi. Bahaya kelima, ketidaktegasan dan ketidakbecusan aparatur hukum dalam penegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran yang telah dibingkai dalam sistim perundang-undangan dan hukum nasional. Tak sedikit peraturan di negeri ini yang ironis. Berbalikpunggung dengan konstitusi NKRI. Lihat dan cermati, apakah PERDA-PERDA berdasarkan syariat agama tertentu tunduk pada konstitusi NKRI? Bagaimana dengan PERDA-PERDA lainnya yang menghambat pertumbuhan ekonomi rakyat (menghasilkan ekonomi biaya tinggi)? Bagaimana dengan Peraturan Bersama Menag dan Mendagri (Perber 2006)? Apakah Perber ini tidak bertentangan secara esensi dengan UUD 1945 yang sangat menghargai dan mendorong kebebasan rakyat memeluk dan menjalankan agama yang diyakininya? Penegakkan supremasi hukum hanyalah jargon kosong murahan. Kemelempeman penegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran akan menjadi pemicu dan pemacu meledaknya chaos antar masyarakat. Tinggal tunggu waktu saja. Pancasila sebagai dasar dan falsafah bangsa dan NKRI hanyalah tinggal sebutan yang nirarti. Bahaya keenam, korupsi yang bergentayangan hampir di semua instansi merupakan tindakan kejahatan kemanusiaan yang tidak dianggap serius. Korupsi telah merasuk dan merusak sampai ke darah daging bahkan jiwa manusia Indonesia. Tidak heran bila Jimly Asshiddiqie, mantan ketua MK mengatakan bahwa saat ini yang terjadi pada para penyelenggara negara adalah trias koruptika. "Pencuri eksekutif, pencuri legislatif dan pencuri yudikatif. Semua mencuri. Sudah rusak penyelenggaraan negara ini,"( http://politik.rmol.co/read/2013/11/26/134675/Jimly:-Standar-Akhlak-Penyelenggara-Negara-Sudah-Kacau-Balau-). Ketujuh yang akan menceraiberaikan negeri puluhan ribu pulau ini adalah ketidakbenaran alias dosa. Firman Tuhan mengatakan, "Di mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya. Kebenaran meninggikan derajat bangsa, tetapi dosa adalah noda bangsa." Kita tidak peduli mana dosa dan bukan dosa. Itu sebabnya tidak ada damai sejahtera, ketenangan, dan ketenteraman di negeri ini. Setiap tahun di negeri ini dibunuh jutaan janin. Janin dianggap hanya seonggok daging tanpa nilai ilahi. Membunuh manusia dengan bom mengerikan dianggap perbuatan membela dan menyenangkan Tuhan. Narkoba telah menjerat jutaan manusia Indonesia. Bahkan wacana melegalkan pemakaian ganja mulai marak dibicarakan. Ini pemikiran yang ditebarkan iblis untuk memunahkan manusia Indonesia. Seks bebas dan seks sesama jenis dianggap hal wajar. Merusak lingkungan hidup, hutan, laut, udara demi kepentingan ekonomi dianggap hal biasa saja. Hukum dijungkirbalikkan. Membela yang benar digantikan dengan membela yang bayar. Ketidakjujuran di sana sini merupakan kiat mencapai sukses. Manusia hidup dengan standarnya sendiri. Pendek kata, hormat dan takut akan Tuhan hampir lenyap di negeri ini. Dan yang paling akhir, tidak diragukan bahwa bangsa asing begitu kebelet agar Indonesia yang kaya akan Sumber Daya Alam dapat dikuasai. Pasti ada upaya untuk memporakporandakan NKRI. Semoga para elite negeri ini siuman akan hal ini. Stop korupsi. Bangun kembali semangat nasionalisme Indonesia yang kokoh. Bersatu kita teguh, berkorupsi kita hancur berkeping-keping.
Dalam gentar saya merenung; apakah seperempat abad lagi saya atau anak cucu cicit saya masih dapat melantunkan lagu "Dari Sabang Sampai Merauke Itulah Indonesia?" Masihkah Indonesiaku bak ratna mutu manikam yang membentang indah permai dari Sabang sampai Merauke? Sebelum NKRI mengalami nasib sama dengan Uni Soviet, mari kita manusia Indonesia kembali menjunjung tinggi nilai-nilai PBNU yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI harga mati bukan mati harga, dan UUD 1945. Terutama lakukan Sila pertama dan kedua Pancasila. Kedua Sila ini merupakan dasar yang kokoh bagi tiga Sila lainnya. Pancasila tidak pernah berkhianat kepada siapapun. Jangan kita mencampakkannya. Mari kita menghormati Tuhan Sang Pencipta langit, bumi, laut, dan segala isinya yang telah menganugerahkan kemerdekaan pada kita. Kita harus bersatu kembali dan saling mengasihi sebagai saudara setanah air tanpa memandang latar belakang suku, agama, politik, warna kulit, dan asal usul pulau. Itulah yang dikehendaki-Nya tatkala menganugerahkan kemerdekaan pada kita. Dan di atas semuanya berlakukanlah firman Tuhan ini, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
Rev. Hans
"Jangan takut! Teruslah memberitakan firman dan jangan diam! (Kisah Para Rasul 18:9b).