Ibadah Umum GPdI Pasir Nangka Ciranjang-Cianjur, Minggu 17 Juli 2011
Nats: Yohanes 4:31-42
Oleh: Adrianus Pasasa
Untuk melihat ladang yang menguning, seorang petani terlebih dahulu mengolah ladang, mencangkul, membersikan rumput, menggemburkan tanahnya baru ditaburi dengan benih. Tidak hanya sampai di situ, langkah selanjutnya adalah memelihara benih yang sudah ditabur supaya tidak dimakan burung atau dirusak oleh binatang yang lain. Setelah benih bertumbuh, benih tersebut membutuhkan pemeliharaan supaya dapat bertumbuh dengan baik. Dengan berjalannya waktu benih itu akan mengalami pertumbuhan dan akhirnya menguning dan matang untuk di tuai.
Dalam Yohanes 4:35 Tuhan Yesus berkata kepada murud-Nya: Bukankah kamu mengatakan: Empat bulan lagi tibalah musim menuai? Tetapi Aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai. Murid-Nya tidak peka melihat orang banyak yang mengikut Tuhan Yesus, murid-Nya tidak melihat kerinduan orang banyak untuk datang kepada Yesus. Tetapi Yesus melihat bahwa orang-orang yang mengikut-Nya sudah siap untuk di panen.
Pertanyaannya bagi kita orang percaya: ladang yang mana dan siapa penuainya?
Syarat untuk menuai, tentu harus ada ladang, kemudian ladang itu diolah, dipelihara, matang baru bisa dituai. Sebagai orang percaya yang sudah mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan Yesus, ladang itu sudah ada yaitu dunia, tugas kita sebagai orang percaya adalah mempersiapkan ladang untuk ditaburi dengan benih Firman Tuhan (Injil). Dalam konteks saat ini, beberapa cara dapat kita pakai untuk menabur benih Injil.
a. Hal pertama yang dapat kita lakukan adalah memiliki kepekaan terhadap keadaan, kita harus peka melihat keadaan seseorang/apa yang dirasakan seseorang. Di tengah kondisi bangsa yang sedang “sakit”, banyak orang yang mengalami kesepian, kurang kasih sayang, kurang perhatian, sakit hati, tertekan, kecewa, diperlakukan tidak adil, dll. Apa yang dapat kita perbuat ketika melihat kondisi seperti ini? Kita harus melihat bahwa penyebab semua itu karena rohani mereka mengalami gangguan (lagi sakit), tawarkan Yesus sebagai jawaban bagi kebutuhan mereka, terutama kebutuhan akan perdamaian dengan pencipta mereka (akibat dosa). Ketika mereka mengalami perdamaian dengan penciptanya, maka mereka juga akan mengalami perjumpaan dengan Yesus. Rohani mereka akan dipulihkan dan kehidupan jasmani merekapun akan ikut dipulihkan.
b. Hal kedua yang dapat kita lakukan adalah menjadi saksi (bersaksi). Bersaksi tidak hanya dibatasi pada membicarakan fakta-fakta Injil kepada orang yang belum percaya, atau sebaliknya hanya menampakkan perbuatan sebagai orang Kristen di mata orang lain. Bersaksi yang sebenarnya adalah baik perbuatan maupun perkataan terjalin menjadi satu dan tak terpisahkan dalam bersaksi.
· Contoh: orang lain harus diberitahu siapa yang membuat hidup kita begitu berbeda, hidup kita akan menerangi kebenaran yang kita sampaikan, kesaksian kita harus memiliki dua sayap yaitu: hidup kita (perbuatan) dan bibir kita (perkataan)
· Isi berita kesaksian yang kita sampaikan adalah Kristus dan Allah, bukan perjalanan iman kita. Subyek pemberitaan kita adalah kebenaran mengenai Pribadi Yesus Kristus (2 Kor. 5:19). Kesaksian kita perlu dievaluasi, berapa % tentang Kristus dan berapa % membicarakan tentang diri kita, mana yang lebih menonjol.
Beberapa hal yang sering menjadi penghalang untuk kita menabur/ bersaksi:
· Anggapan kita bahwa mereka yang terhilang tidak membutuhkan kabar baik (Injil).
· Anggapan kita bahwa mereka belum siap mendengar Injil, padahal bukan mereka yang tidak siap mendengar Injil, tetapi kita yang tidak siap memberitakan Injil.
· Kita sering berkata aku tidak pandai berkata-kata (Band. Keluaran 4:10-11)
· Kita harus menyadari bahwa menyaksikan berita Injil adalah tugas dan tanggung jawab setiap orang percaya. Jika kita masa bodoh dan tidak peduli akan hal ini, padahal kita mengetahui apa yang akan dialami oleh orang-orang yang hidupnya di luar Yesus Kristus, yaitu kebinasaan kekal. Suatu kelak Tuhan Yesus akan meminta pertanggungjawaban kepada kita. ( band. Yehezkiel 3:18)
2. Setelah kita selesai menabur, suatu waktu akan tiba saatnya untuk menuai. Pertanyaannya adalah seberapa besar peran kita?
a. Di atas sudah dijelaskan bahwa tugas kita adalah menyaksikan berita Injil melalui hidup dan bibir kita.
b. Seseorang dapat datang kepada Tuhan Yesus dan mengalami Kelahiran baru, itu adalah bagian Allah (band. 1 Kor 3:5-9). Tetapi yang terjadi sering kali kita mengambil apa yang menjadi bagian Allah. Kita sering kali memaksakan kehendak, sehingga hasilnya juga setengah matang.
c. Kita menuai bila Allah telah membuat gandum itu masak
d. Keberhasilan penginjilan tidak dapat dinilai dari jumlah orang yang bertobat.
Tuhan Yesus mengatakan ladang sudah menguning dan siap untuk dituai. Bagaimana dengan kita yang hadir pada saat ini. Apakah hati kita tergerak untuk mengolah ladang yang Tuhan Yesus telah siapkan? Jika kita siap maka suatu waktu kelak kita akan bersukacita bersama Sang pemilik ladang melihat hasil-hasil tuaian.
Saudaraku yang dikasihi Tuhan Yesus, kotbah ini akan saya akhiri dengan kisah dua pasang suami istri yang menyerahkan diri kepada Tuhan untuk menjangkau daerah Afrika bagi Yesus Kristus. Pada tahun 1921, dua pasang suami istri dari Stockholm ( Swedia ), menjawab panggilan Allah untuk melayani misi penginjilan di Afrika. Kedua pasang suami istri ini menyerahkan hidupnya untuk mengabarkan Injil dalam suatu kebaktian pengutusan Injil. Mereka terbeban untuk melayani negara Belgian Kongo, yang sekarang bernama Zaire. Mereka adalah David & Svea Flood, serta Joel & Bertha Erickson.
Setelah tiba di Zaire, mereka melapor ke kantor Misi setempat. Lalu dengan menggunakan parang, mereka membuka jalan melalui hutan pedalaman yang dipenuhi nyamuk malaria. David dan Svea membawa anaknya David Jr. yang masih berumur 2 tahun. Dalam perjalanan, David Jr. terkena penyakit malaria. Namun mereka pantang menyerah dan rela mati untuk Pekerjaan Injil. Tiba di tengah hutan, mereka menemukan sebuah desa di pedalaman. Namun penduduk desa ini tidak mengijinkan mereka memasuki desanya. “Tak boleh ada orang kulit putih yang boleh masuk ke desa. Dewa-dewa kami akan marah,” demikian kata penduduk desa itu.
Karena tidak menemukan desa lain, mereka akhirnya terpaksa tinggal di hutan dekat desa tersebut. Setelah beberapa bulan tinggal di tempat itu, mereka menderita kesepian dan kekurangan gizi. Selain itu, mereka juga jarang mendapat kesempatan untuk berhubungan dengan penduduk desa. Setelah enam bulan berlalu, keluarga Erickson memutuskan untuk kembali ke kantor misi. Namun keluarga Flood memilih untuk tetap tinggal, apalagi karena saat itu Svea baru hamil dan sedang menderita malaria yang cukup buruk. Di samping itu David juga menginginkan agar anaknya lahir di Afrika dan ia sudah bertekad untuk memberikan hidupnya untuk melayani di tempat tersebut.
Selama beberapa bulan Svea mencoba bertahan melawan demamnya yang emakin memburuk. Namun di tengah keadaan seperti itu ia masih menyediakan waktunya untuk melakukan bimbingan rohani kepada seorang anak kecil penduduk asli dari desa tersebut. Dapat dikatakan anak kecil itu adalah satu-satunya hasil pelayanan Injil melalui keluarga Flood ini. Saat Svea melayaninya, anak kecil ini hanya tersenyum kepadanya. Penyakit malaria yang diderita Svea semakin memburuk sampai ia hanya bisa berbaring saja. Tapi bersyukur bayi perempuannya berhasil lahir dengan selamat tidak kurang suatu apa. Namun Svea tidak mampu bertahan. Seminggu kemudian keadaannya sangat buruk dan menjelang kepergiannya, ia berbisik kepada David, “Berikan nama Aina pada anak kita,” lalu ia meninggal.
David amat sangat terpukul dengan kematian istrinya. Ia membuat peti mati buat Svea, lalu menguburkannya. Saat dia berdiri di samping kuburan, ia memandang pada anak laki-lakinya sambil mendengar tangis bayi perempuannya dari dalam gubuk yang terbuat dari lumpur. Timbul kekecewaan yang sangat dalam di hatinya. Dengan emosi yang tidak terkontrol David berseru, “Tuhan, mengapa Kau ijinkan hal ini terjadi ? Bukankah kami datang kemari untuk memberikan hidup kami dan melayani Engkau ?! Istriku yang cantik dan pandai, sekarang telah tiada. Anak sulungku kini baru berumur 3 tahun dan nyaris tidak terurus, apalagi si kecil yang baru lahir. Setahun lebih kami ada di hutan ini dan kami hanya memenangkan seorang anak kecil yang bahkan mungkin belum cukup memahami berita Injil yang kami ceritakan. Kau telah mengecewakan aku, Tuhan. Betapa sia-sianya hidupku !”
Kemudian David kembali ke kantor misi Afrika. Saat itu David bertemu lagi dengan keluarga Erickson. David berteriak dengan penuh kejengkelan, “Saya akan kembali ke Swedia ! Saya tidak mampu lagi mengurus anak ini. Saya ingin titipkan bayi perempuanku kepadamu.” Kemudian David memberikan Aina kepada keluarga Erickson untuk dibesarkan. Sepanjang perjalanan ke Stockholm, David Flood berdiri di atas dek kapal. Ia merasa sangat kesal kepada Allah. Ia menceritakan kepada semua orang tentang pengalaman pahitnya, bahwa ia telah mengorbankan segalanya tetapi berakhir dengan kekecewaan. Ia yakin bahwa ia sudah berlaku setia tetapi Tuhan membalas hal itu dengan cara tidak mempedulikannya.
Setelah tiba di Stockholm, David Flood memutuskan untuk memulai usaha di bidang import. Ia mengingatkan semua orang untuk tidak menyebut nama Tuhan di depannya. Jika mereka melakukan itu, segera ia naik pitam dan marah. David akhirnya terjatuh pada kebiasaan minum-minuman keras.
Tidak lama setelah David Flood meninggalkan Afrika, pasangan suami-istri Erickson yang merawat Aina meninggal karena diracun oleh kepala suku dari daerah dimana mereka layani. Selanjutnya si kecil Aina diasuh oleh Arthur & Anna Berg. Keluarga ini membawa Aina ke sebuah desa yang bernama Masisi, Utara Kongo. Di sana Aina dipanggil “Aggie”. Si kecil Aggie segera belajar bahasa Swahili dan bermain dengan anak-anak Kongo. Pada saat-saat sendirian si Aggie sering bermain dengan khayalan. Ia sering membayangkan bahwa ia memiliki empat saudara laki-laki dan satu saudara perempuan, dan ia memberi nama kepada masing-masing saudara khayalannya. Kadang-kadang ia menyediakan meja untuk bercakap-cakap dengan saudara khayalannya. Dalam khayalannya, ia melihat bahwa saudara perempuannya selalu memandang dirinya.
Keluarga Berg akhirnya kembali ke Amerika dan menetap di Minneapolis. Setelah dewasa, Aggie berusaha mencari ayahnya tapi sia-sia. Aggie menikah dengan Dewey Hurst, yang kemudian menjadi presiden dari sekolah Alkitab Northwest Bible College. Sampai saat itu Aggie tidak mengetahui bahwa ayahnya telah menikah lagi dengan adik Svea, yang tidak mengasihi Allah dan telah mempunyai anak lima, empat putra dan satu putri Tepat seperti khayalan Aggie ).
Suatu ketika Sekolah Alkitab memberikan tiket kepada Aggie dan suaminya untuk pergi ke Swedia. Ini merupakan kesempatan bagi Aggie untuk mencari ayahnya. Saat tiba di London, Aggie dan suaminya berjalan kaki di dekat Royal Albert Hall. Di tengah jalan mereka melihat ada suatu pertemuan penginjilan. Lalu mereka masuk dan mendengarkan seorang pengkotbah kulit hitam yang sedang bersaksi bahwa Tuhan sedang melakukan perkara besar di Zaire. Hati Aggie terperanjat.
Setelah selesai acara, ia mendekati pengkotbah itu dan bertanya, “Pernahkah anda mengetahui pasangan penginjil yang bernama David dan Svea Flood ?” Pengkotbah kulit hitam ini menjawab, “Ya, Svea adalah orang yang membimbing saya kepada Tuhan waktu saya masih anak-anak. Mereka memiliki bayi perempuan tetapi saya tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang.” Aggie segera berseru, “Sayalah bayi perempuan itu ! Saya adalah Aggie – Aina !”
Mendengar seruan itu si Pengkotbah segera menggenggam tangan Aggie dan memeluk sambil menangis dengan sukacita. Aggie tidak percaya bahwa orang ini adalah bocah yang dilayani ibunya. Ia bertumbuh menjadi seorang penginjil yang melayani bangsanya dan pekerjaan Tuhan berkembang pesat dengan 110.000 orang Kristen, 32 Pos penginjilan, beberapa sekolah Alkitab dan sebuah rumah sakit dengan 120 tempat tidur.
Esok harinya Aggie meneruskan perjalanan ke Stockholm dan berita telah tersebar luas bahwa mereka akan datang. Setibanya di hotel, ketiga saudaranya telah menunggu mereka di sana dan akhirnya Aggie mengetahui bahwa ia benar-benar memiliki saudara lima orang. Ia bertanya kepada mereka, “Dimana David kakakku ?” Mereka menunjuk seorang laki-laki yang duduk sendirian di lobi.
David Jr. adalah pria yang nampak kering, lesu dan berambut putih. Seperti ayahnya, iapun dipenuhi oleh kekecewaan, kepahitan dan hidup yang berantakan karena alkohol. Ketika Aggie bertanya tentang kabar ayahnya, David Jr. menjadi marah. Ternyata semua saudaranya membenci ayahnya dan sudah bertahun-tahun tidak membicarakan ayahnya. Lalu Aggie bertanya, “Bagaimana dengan saudaraku perempuan ?” Tak lama kemudian saudara perempuannya datang ke hotel itu dan memeluk Aggie dan berkata, “Sepanjang hidupku aku telah merindukanmu. Biasanya aku membuka peta dunia dan menaruh sebuah mobil mainan yang berjalan di atasnya, seolah-olah aku sedang mengendarai mobil itu untuk mencarimu kemana-mana.” Saudara perempuannya itu juga telah menjauhi ayahnya, tetapi ia berjanji untuk membantu Aggie mencari ayahnya.
Lalu mereka memasuki sebuah bangunan tidak terawat. Setelah mengetuk pintu, datanglah seorang wanita dan mempersilakan mereka masuk. Di dalam ruangan itu penuh dengan botol minuman, tapi di sudut ruangan nampak seorang terbaring di ranjang kecil, yaitu ayahnya yang dulunya seorang penginjil. Ia berumur 73 tahun dan menderita diabetes, stroke dan katarak yang menutupi kedua matanya. Aggie jatuh di sisinya dan menangis, “Ayah, aku adalah si kecil yang kau tinggalkan di Afrika.” Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangnya. Air mata membasahi matanya, lalu ia menjawab, “Aku tak pernah bermaksud membuangmu, aku hanya tidak mampu untuk mengasuhnya lagi.” Aggie menjawab, “Tidak apa-apa, Ayah. Tuhan telah memelihara aku.”
Tiba-tiba, wajah ayahnya menjadi gelap, “Tuhan tidak memeliharamu !” Ia mengamuk. “Ia telah menghancurkan seluruh keluarga kita ! Ia membawa kita ke Afrika lalu meninggalkan kita. Tidak ada satupun hasil di sana. Semuanya sia-sia belaka !” Aggie kemudian menceritakan pertemuannya dengan seorang pengkotbah kulit hitam dan bagaimana perkembangan penginjilan di Zaire. Penginjil itulah si anak kecil yang dahulu pernah dilayani oleh ayah dan ibunya. “Sekarang semua orang mengenal anak kecil, si pengkotbah itu. Dan kisahnya telah dimuat di semua surat kabar.” Saat itu Roh Kudus turun ke atas David Flood. Ia sadar dan tidak sanggup menahan air mata lalu bertobat.
Tak lama setelah pertemuan itu, David Flood meninggal, tetapi Allah telah memulihkan semuanya, kepahitan hatinya dan kekecewaannya.