Integritas Hidup Seorang murid Kristus
Waktu bergulir tidak terasa. Ya waktu secara kronos maupun kairos. Insan bernama manusia terus berpacu dengan waktu di dalam dunia yang "berdarah-darah" dalam dosa. Rasanya baru bangun dari tidur semalam. Anak pertama kami, Juan, tidak terasa sudah berusia tujuh belas tahun. Ternyata dia sangat merindukan SIM C terselip dalam dompetnya. Ya, ia merasa telah menjadi orang dewasa yang tidak perlu lagi diantar pergi ke sekolah tiap pagi oleh ayahnya. Tibalah musim liburan panjang sebulan setelah kenaikan ke kelas tiga SMU. Sebenarnya Juan meminta kami untuk mencarikan pekerjaan baginya dalam masa liburan. Ia mau belajar bekerja sambil merasakan bagaimana mencari uang. Saya sangat mendukung niatnya. Agar ia tahu hidup ini adalah perjuangan. Dan setiap tarikan nafas adalah anugerah Tuhan yang patut dihargai. Namun sayang Juan belum mendapat kesempatan untuk magang kerja. Lagi pula Juan terpaksa harus menunda niatnya itu karena terhalang enam kali kegagalan ketika ia ikut test mengambil SIM C.
Juan pertama kali test pada hari Rabu, 9 Juni 2010. Di hari pertama ini saya tidak bisa mengantarnya ke kantor polisi di jalan Jawa Bandung. Saya mendapatkan tugas pelayanan pada hari wisuda III anak-anak TK dari sekolah yang kami dirikan tiga tahun lampau, khususnya untuk anak-anak dari kalangan tidak mampu. Teman saya seorang hamba Tuhan yang baik hati, bapak Harry Fudin mengantar dan mendampingi Juan. Dari tiga puluh pertanyaan Juan mampu menjawab dua puluh tujuh pertanyaan. Tak pelak lagi, ia dinyatakan lulus test teori. Namun hatinya gundah karena ia tidak lulus praktek. Ia berhasil di jalan zig zag dan huruf "U" tetapi sayang Ia terjatuh pada lintasan angka delapan. Maklum motor masih menguasai Juan. Bukan sebaliknya. Saya memotivasi dan memintanya terus berlatih untuk menghadapi test lusa harinya, Jum'at, 11 Juni 2010. Pada hari itu Juan gagal lagi pada lintasan angka delapan. Hati saya turut gundah karena melihatnya frustrasi. Sebenarnya pada hari itu seorang polisi memanggil kami masuk ke dalam sebuah ruangan. Tapi saya terus saja berjalan. Saya tahu apa maksud ia memanggil kami. Ada jalan lain untuk instan mendapatkan SIM C. Ya kita maklum bersama. Sebelum sampai ke rumah, saya mengajak Juan berlatih di sebuah jalan sempit kira-kira dua jam lamanya di bawah panasnya terik matahari. Dalam latihan itu nampak sekali wajahnya frustrasi karena ia selalu menurunkan kakinya ketika membelokkan motornya ke kiri atau ke kanan. Memang ia belum mahir. Saya juga terbawa kesal dengan ketidakbisaannya ini. Namun saya katakan kepadanya, "Nak, hidup dalam kebenaran dan mau menyenangkan Tuhan tidak mudah. Jaga integritas hidup. Kalau mau yang instan, dari awal papa bisa memakai uang alias suap bin sogok, maka tanpa test pun Juan bisa langsung memiliki SIM C itu. Tapi kita sebagai anak-anak Tuhan, tidak pantas melanggar aturan yang berlaku. Terlebih lagi, kita tidak pantas melukai hati Tuhan." Juan menimpali, "Tapi orang lain juga melanggar. Mereka bayar koq!" "Ya kita tidak boleh berbuat dosa karena orang lain juga berbuat dosa", demikian jawaban saya. Saat berdiskusi ini sebenarnya hati saya sedih sekali, karena melihat Juan hampir putus asa. Betapa sulitnya hidup dalam kebenaran dan menyenangkan hati Tuhan di dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini.
Juan harus test lagi pada hari Senin, 14 Juni 2010. Hati saya makin cemas dan tidak tenang karena yakin ia pasti gagal lagi. Benar hari itu ia gagal lagi. Dia mulai kelihatan lebih frustrasi dari hari-hari test sebelumnya. Hati kecil saya menangis melihat Juan semakin galau. Apalagi dia berkata, "Pa, Juan tidak usah ambil SIM saja ya." Dia sudah di ambang patah hati. Hati saya makin tergoncang. Padahal saya dan istri saya selalu berdoa agar Tuhan menolong Juan. Saya meminta rekan-rekan hamba Tuhan senior turut mendukung Juan dalam doa. Hati saya sedikit terhibur dengan dukungan doa dan nasihat-nasihat para senior saya. Saking berharap Juan bisa lulus, saya memanggil adik ipar saya, Henry Panjaitan untuk datang khusus melatih Juan beberapa kali. Saya tidak enak mengganggu Henry, karena dia sangat sibuk. Itu sebabnya setiap kali latihan, Ima, istri saya memberikan sejumlah uang pengganti bensinnya. Sebenarnya Henry menolaknya. Hitung-hitung ongkos latihan sudah melebihi dana pembuatan SIM dengan cara "Nembak." Tiap kali latihan empat jam, dari sore hingga malam hari. Tangan Juan sampai terkelupas berdarah-darah karena memegang setir motor selama berjam-jam tanpa henti. Kakinya Juga melepuh karena sering terkena mesin yang sangat panas. Juan harus ikut test lagi pada hari Rabu, 16 Juni 2010. Pada kali ke empat ini Juan gagal lagi mengendarai motor di angka delapan dan Zigzag. Pada kali kelima test, Jumat, 18 Juni 2010 Juan gagal lagi. Saya betul-betul cemas dan amat gundah.
Juan wajib ikut test lagi untuk kali ke enam, Senin, 21 Juni 2010. Hari itu bukan saya yang mengantarnya ke kantor polisi. Karena pagi jam sepuluh saya mengikuti sebuah persekutuan yang diadakan oleh pengurus almamater kami. Arlem seorang saudara seiman mengantarnya. Ketika saya pulang dari persekutuan doa tersebut, saya bertanya kepada Juan apakah ia lulus kali ke enam ini. Ia menjawab, "Saya lulus pa. Hari kamis nanti tinggal berfoto saja", demikian jawabnya. Tapi hati saya tidak yakin ia lulus. Saya bertanya lagi, "Apakah tadi Juan berhasil mengendarai motor di angka delapan, Zigzag, dan huruf U?" "Saya jatuh pa… di huruf U", jawab Juan. Kata saya, "Oh itu berarti Juan belum lulus, kenapa disuruh berfoto pada hari Kamis, 24 Juni 2010?" "Tidak tahu pa, om Ari (adik ipar Saya seorang polisi) sudah bicara dengan temannya, dan saya dinyatakan lulus", demikian jawaban Juan. Saya katakan dengan tegas pada Juan bahwa saya tidak setuju dengan kelulusannya yang dibantu pamannya. Itu adalah pelanggaran dan suatu ketidakbenaran. Mendapatkan SIM dengan cara dibantu orang. Saya katakan juga, "Juan tidak akan pernah merasa bahagia yang sejati ketika mendapatkan SIM itu. Lagian Tuhan Yesus tidak menghendaki cara-cara seperti itu." Siang itu saya dan Juan berdebat cukup keras. Ia berkata, "Kenapa papa menghalangi saya yang sudah dinyatakan lulus. Apa papa tidak tahu tangan saya sudah lecet-lecet dan berdarah-darah? Kaki saya melepuh? Ia menangis sambil berbaring. Saya menangis dalam hati melihat Juan yang sangat kecewa saat itu. Di satu sisi saya mau ia tetap berjuang mendapat SIM dengan cara yang benar, biar ada kepuasan sejati baginya, dan menyenangkan Tuhan. Tetapi di sisi lain saya juga tahu betapa ia sudah berjuang mati-matian sampai melepuh dan berdarah-darah tangan dan kakinya. Ia berkata bahwa ia tidak mau lagi ambil SIM. Hati saya benar-benar trenyuh. Untung perdebatan itu berakhir karena Ima, istri saya mengambil alih situasi. Saya masuk ke kamar dan berbaring. Ima terus membujuk dan menghibur Juan dengan nasihat-nasihat firman Tuhan. Akhirnya, puji Tuhan, Juan mau mengikuti test yang ketujuh kalinya, pada hari Rabu, 23 Juni 2010.
Saya sangat gembira dengan kebesaran hati Juan. Karenanya saya minta Henry untuk datang melatih Juan pada hari Selasa, 22 Juni 2010. Hari itu Juan dilatih selama empat jam dari sore sampai malam hari untuk persiapan test besok. Malam hari saya sungguh-sungguh berdoa kepada Tuhan Yesus agar Juan mendapatkan belaskasihan-Nya pada waktu test besok hari. Dan pada hari Rabu pagi jam sepuluh sebelum berangkat ke kantor polisi, saya mengajak Juan berdoa bersama, "Tuhan Yesus selamat pagi. Ya Tuhan, Engkau tahu sudah enam kali Juan gagal. Betapa sukarnya kami mau hidup dalam kebenaran dan menyenangkan Engkau di dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini. Ada begitu banyak pilihan yang sangat mudah untuk mendapatkan SIM yang Juan butuhkan. Tapi, Tuhan, Saya dan Juan tidak mau melukai hati-Mu. Kami mau belajar hidup penuh integritas di hadapan-Mu. Tolonglah hari ini, demi nama Yesus, luluskan Juan agar kami jangan jatuh dalam dosa karena ketidaksabaran kami. Demi nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin!"
Saat itu juga kami langsung berangkat ke kantor polisi. Di tengah perjalanan saya menasihati dan memotivasi Juan dengan firman Tuhan. "Juan nanti akan menikmati rasa bahagia yang tiada taranya ketika mendapatkan SIM dengan cara yang benar. Itu akan menjadi sangat berharga. Berharga di matamu terutama berharga di mata Tuhan karena Juan hidup dalam kebenaran dan menyenangkan Tuhan Yesus", demikian dorongan saya. Akhirnya kami tiba di kantor Polisi langsung ke halaman test. Polisi agak kaget dengan kedatangan Juan untuk test lagi. Polisi itu memandang saya sambil berkata, "Pa anak bapak sudah lulus, besok tinggal berfoto saja." Saya langsung menjawab kepada polisi itu, "Ia kemarin tidak lulus karena masih jatuh di lintasan huruf U, biar saja Juan test lagi hari ini pak." "Ya kalau begitu silakan saja pak", jawabnya dengan raut wajah yang kesal. Mungkin dalam hatinya berkata, "Gelo bener orang tua satu ini." Tentu polisi ini tidak paham nilai-nilai yang ingin saya tanamkan dan wariskan kepada Juan. Saya ingat sekali pernyataan rasul Yohanes dalam 3Yohanes 1:4, "Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran." Saya tahu dari firman Tuhan - bahwa tidak ada warisan yang lebih bermakna dan berharga bagi anak-anak saya bahkan bagi jemaat yang dipercayakan Tuhan pada saya, yang akan saya tinggalkan - selain mereka hidup dalam kebenaran, hormat, dan takut akan Tuhan. Bukankah firman Tuhan bersabda, "Supaya seumur hidupmu engkau dan anak cucumu takut akan TUHAN, Allahmu, dan berpegang pada segala ketetapan dan perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu, dan supaya lanjut umurmu" (Ulangan 6:2). "Tetapi kepada manusia Ia berfirman: Sesungguhnya, takut akan Tuhan, itulah hikmat, dan menjauhi kejahatan itulah akal budi" (Ayub 28:28). "Siapakah orang yang takut akan TUHAN? Kepadanya TUHAN menunjukkan jalan yang harus dipilihnya" (Mazmur 25:12). "Haleluya! Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya" (Mazmur 112:1). "Hai orang-orang yang takut akan TUHAN, percayalah kepada TUHAN! —Dialah pertolongan mereka dan perisai mereka" (Mazmur 115:11). "Takut akan TUHAN ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu muslihat" (Amsal 8:13). "Ganjaran kerendahan hati dan takut akan TUHAN adalah kekayaan, kehormatan dan kehidupan" (Amsal 22:4)?
Akhirnya, Juan mengambil motor dan menaikinya untuk test lagi. Wajahnya terlihat pucat sambil ia mengendarainya menuju lintasan angka delapan yang ia sangat takuti itu. Sebelumnya saya katakan, "Juan jangan takut, Tuhan Yesus memberkatimu. Bernyanyilah sebuah lagu 'Dalam nama Yesus', sambil melewati angka delapan, ziqzaq, dan lintasan huruf U." Saya terus memandang Juan, ketika melewati angka delapan, hati saya sangat gugup dan gemetar. Wow… Juan berhasil melewatinya! Namun detak jantung saya makin berdenyut keras ketika Juan memasuki jalan ziqzaq. Ia berhasil lagi. "Oh puji Tuhan", saya berkata dalam hati dengan jantung yang tetap dag dig dug… Saya berteriak, "Juan satu lagi Juan, tenang nak." Ia mulai menuju lintasan huruf U sebagai etape terakhir yang menentukan lulus tidaknya ia. Dan ia mulai tancap gas, ketika ia belok ke kanan, oh… Juan terjatuh. Hati saya sangat sedih ketika melihat kepalanya digeleng-gelengkan dengan raut muka yang sangat kesal disertai suara mendesis ke luar dari bibirnya. Dia sangat kesal. "Oh Tuhan Yesus tolonglah anakku, berbelakasihanlah kepada Juan, oh Tuhan", demikian doa saya dalam hati dengan gemetar. Rasanya saat itu saya ingin berteriak menangis. Namun saya berhasil menahannya. Polisi, lalu berkata, "Hayu sekali lagi kesempatan dek." Juan tidak menunggu lama ia langsung menuju lintasan angka delapan. Saya mengamati dengan teliti namun bimbang. Juan lolos. Jalan ziqzaq, Juan lolos. Saya langsung berseru, "Juan tinggal satu lagi nak, tenang Juan pasti bisa lewati huruf U, kecil itu nak. Tenanglah!" Akhirnya Juan menuju lintasan huruf U, ia terus melaju dan perlahan-lahan ia belok kanan dan…… "Oh haleluya Tuhan Yesus, engkau sungguh baik. Engkau telah mencurahkan belaskasihanmu untuk Juan hari ini. Terpujilah nama-Mu Tuhan Yesus", seru saya dalam hati. Juan akhirnya berhasil! Ia nampak sangat gembira sekali. Ia langsung SMS mamanya, "Ma, Juan luluuuuuuuuuuuuuuuuussssssssssssssssssssss. Yesssssssssssssssssssssssss!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!" Air mata saya jatuh menetes di pipi. Saya sungguh bahagia. Tidak ada harta yang lebih berharga yang saya terima hari itu, kecuali damai sejahtera yang luar biasa di hati saya. Satu warisan yang sangat amat berharga telah saya berikan pada Juan. Juan baru menyadari dan mengaminkan nasihat-nasihat saya selama ini. Ia berkata, "Juan sungguh bahagia pak." Lalu saya berpesan, "Nak perjalanan hidupmu masih panjang, sekali waktu papa tidak ada lagi di bumi ini, ingatlah baik-baik. Dalam melakukan segala sesuatu, lakukanlah itu dalam kebenaran, takut akan Tuhan, dan senangkanlah hati Tuhan Yesus. Jangan pernah mau melukai hati-Nya. Jangan pernah mau berkompromi dengan dosa. Pelihara integritas. Jangan pernah malu karena melakukan kebenaran Tuhan, meskipun banyak orang menghina dan memusuhimu kelak. Inilah warisan yang papa dapat berikan kepadamu nak. Papa tidak punya emas dan perak untukmu. Hormatilah Tuhanmu seumur hidupmu nak!"
"Dalam takut akan TUHAN ada ketenteraman yang besar, bahkan ada perlindungan bagi anak-anak-Nya. Takut akan TUHAN adalah sumber kehidupan sehingga orang terhindar dari jerat maut" ( Amsal 14:26-27). "Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang" (Pengkhotbah 12:13)
SOLI DEO GLORIA !!!