Suatu subuh beberapa tahun lampau, Ima, istri saya pulang dari pasar. Baru beberapa menit tiba di rumah, bel rumah kami berbunyi ... tet… tot...tet… tot… membisingkan gendang telinga saya yang masih tertidur pulas. Ech… ternyata si bapak becak datang membawa beberapa kantong belanjaan istri saya yang ketinggalan di becaknya. Peristiwa di atas mungkin bagi sebagian orang nampaknya perkara kecil dan sangat sederhana. Itu mah biasa. Oo saya sangat tidak setuju dengan persepsi itu. Perbuatan bapak becak itu sangat tidak sederhana. Amat menggugah kalbu saya yang paling dalam. Terutama ketika mengamati kondisi bangsa tercinta kita saat ini yang menurut ahli Indonesia dari Northwestern University AS, Prof. Jeffry Winters bahwa negeri ini sudah dikuasai para maling. (http://www.rakyatmerdekaonline.com/, Selasa, 09 Agustus 2011 , 15:51:00 WIB. Dilaporkan oleh Soemitro, RMonline).
Bukan cuma itu. Camkan baik-baik. Keprihatinan saya yang sangat mendalam karena hutang Indonesia sudah mencapai Rp 1.796 triliun. Bila dibebankan kepada setiap rakyat Indonesia, maka setiap orang harus menanggung utang sebesar Rp. 74 juta (RMOL, Ninding Julius Permana, Kamis, 28 Juli 2011 , 10:50:00 WIB). Apakah hati kita tidak pilu? Hutang sudah begitu menakutkan masih ditambah lagi dengan perilaku para maling yang bergentayangan di seluruh penjuru tanah air. Mau tahu siapa para maling di NKRI ini? Simak saja laporan ini. Para pejabat yang dipilih rakyat untuk mengusahakan kesejahteraan rakyat justru merekalah yang merampok habis uang rakyat. Simak saja laporan wartawan Kompas.com, Carolina Damanik yang dilansir oleh Kompas.com, dari Jakarta tanggal 17/1/2011, Senin siang jam : 14.09 WIB. Ia menyebutkan ada 17 orang Gubernur dari 33 orang tersangka korupsi. Bayangkan ada 50% dari jumlah seluruh Gubernur di Indonesia (33 Propinsi) mengidap penyakit korup bin maling. Dan ada 138 orang Bupati/Wali Kota dari 497 Kabupaten/kota yang juga berstatus tersangka korupsi. (http://sosbud.kompasiana.com/2011/01/18/138-bupatiwalikota-17-gubernur-tersangka-korupsi-fantastik/). Quo Vadis Indonesia? Betapa mengerikan bangsa kita saat ini.
Terpikirkan oleh saya bahwa ada beberapa kemungkinan yang bisa dilakukan oleh bapak becak sebagai alasan logis para maling. "Ah untuk apa mengembalikan barang yang ketinggalan itu. Kan ibu yang punya barang itu tak kenal wajah saya?" Boleh jadi si bapak becak berpikir demikian. Atau mungkin saja dia berpikir bahwa lebih baik ia membawa pulang saja kantong-kantong belanjaan istri saya yang ketinggalan di becaknya. "Mumpung di rumah istri dan anak-anakku sedang butuh sayuran, ikan, daging, telor, dan lain-lain. Nah ini kesempatan emas", bisa saja dia berpikiran demikian.
Hati saya amat tersentuh karena ternyata ia tidak berpikir bahkan melakukan seperti yang saya bayangkan. Hati nuraninya bersih sehingga dengan senang hati ia mengembalikan barang-barang belanjaan istri saya. Ia tahu itu bukan miliknya. Si bapak becak meskipun susah mencari sesuap nasi dari hari ke hari untuk menghidupi istri dan anak-anaknya, ia tidak rela menginjak-injak harga dirinya dengan perilaku maling yang bernafsu rakus dan liar tak terkendali. Pendidikannya rendah namun mata hatinya tetap jernih dan bening. Ia masih bisa membedakan mana sejatinya yang miliknya dan mana yang punya orang lain. Ia sama sekali steril dari roh mumpungisme seperti yang diidap oleh sebagian besar petinggi di negeri ini. "Kapan lagi saya jadi Presiden. Kapan lagi saya jadi Menteri. Kapan lagi saya jadi Gubernur, Wali Kota, Bupati, kapan lagi saya jadi anggota DPR, dan kapan lagi saya menduduki posisi "basah" ini. Kapan dan kapan lagi? Bodoh sekali kalau Saya menyia-nyiakan kesempatan ini!", demikianlah kata hati para maling di negeri ini. Urat malu sebagian besar para pemimpin bangsa ini sudah putus. Yang tersisa hanyalah nafas yang terengah-engah yang siap menerkam mangsa. Ironis. Perilaku dan sikap hidup mereka tak seindah pakaian mereka yang kelihatannya begitu terhormat. Di depan publik perkataan mereka terdengar seolah-olah santun dan beradab tetapi rencana-rencana di belakang layar dan tindakan mereka sejatinya biadab. Si Muhammad Nazaruddin sudah tertangkap. Semoga ia benar-benar dapat kembali ke Indonesia. Biar ia dengan leluasa mau membuka semua kebejatan para kriminal berdasi di negeri ini.
Saudara, juga boleh jadi timbul dalam benak si bapak tukang becak, "Gitu aja koq repot-repot, bukankah saya sedang berpacu dengan waktu dan harus menggenjot becak untuk mengejar target setoran sewa becak saya? Kalau mengembalikan barang yang ketinggalan ini, bukankah saya hanya membuang-buang waktu saja? Time is money bukan? Praktisnya saya buang saja kantong-kantong belanjaan si ibu itu di parit. Habis perkara. Apakah si tukang becak senada dengan pikiran "doktor" (Dasar otak kotor) saya ini? Tidak Saudara, si bapak tukang becak ini malahan rela mengorbankan tenaga dan waktunya yang sangat berharga untuk mengembalikan belanjaan istri saya yang ketinggalan di becaknya. Si bapak becak ini tidak dikuasai roh pragmatisme, sepeleisme, dan duitisme sebagaimana mencengkeram banyak orang dewasa ini. Buat ini.. putuskan itu.. yang penting ada untungnya buat saya, teri atau kakap bahkan paus sama saja. Persetan dengan aturan dan hukum! Persetan dengan rakyat jelata! Berbahagia di atas penderitaan orang lain itu soal biasa bung! Bahkan persetan dengan Tuhan, siapa Tuhan itu? Bicara tentang Tuhan dan neraka, itu kuno! Tetapi betapa hati si tukang becak ini dilumuri dengan sikap belas kasihan dan empati yang luar biasa. Tidak munafik. Mungkin dia berpikir, "Kasihan ibu itu kalau barang belanjaannya saya buang di parit. Nanti anak-anak dan suaminya akan makan apa hari ini?"
Betapa jauh bedanya dengan sebagian besar petinggi di negeri ini. Uang untuk kesejahteraan rakyat dikuras habis dengan berbagai cara yang sangat cerdik. Gus Dur (Alm) pernah bilang, "Orang dulu, korupsinya di bawah meja, tetapi sekarang di atas meja." Menurut saya bukan cuma di atas meja tapi dengan meja-mejanya bahkan sekalian dengan kursi-kursinya dirampok juga. Si bapak tukang becak jauh dari perilaku murahan yang amat memalukan itu.
Andaikata ada tujuh orang saja yang duduk di lembaga eksekutif, tujuh orang duduk di legislatif, dan ada tujuh orang duduk di kursi yudikatif seperti si bapak tukang becak, maka bersukacitalah negeri ini. Tapi sayang sejuta sayang yang duduk di kursi-kursi terhormat sebagian besar adalah para maling berdasi. Seperti yang dikatakan proffesor Jeffry, "Secara prosedural, demokrasi di Indonesia sudah cukup bagus. Namun secara substansial, masih harus banyak diperbaiki. Sistem demokrasi yang sekarang dikuasai para maling. Hanya mereka yang punya uang banyak yang bisa naik. Setelah berkuasa, mereka kembali maling untuk mengembalikan sekaligus meraup untung dari investasi yang dikeluarkan. Yang terjadi seperti lingkaran setan. Pemilihan presiden secara langsung sudah ok. Tapi karena calon harus dari partai, maka hanya para maling saja yang bisa tampil. Untuk tampil harus punya uang. Jadi negeri ini sudah dikuasai para maling." Betapa sangat memalukan apa yang terjadi sekarang ini.
Nampak-nampaknya sudah saatnya negeri ini dipimpin oleh "si bapak tukang becak" yang bersih dan tidak berliku-liku kelakuannya, berjiwa bening, penuh integritas, berbelas kasihan, dan berbelarasa terhadap sesama, berpikiran jernih, punya harga diri, dan yang hormat akan Allah. Hanya dengan pemimpin yang demikian bangsa ini akan tiba dengan selamat di pelabuhan sejahtera yang kita idam-idamkan.
Sungguh benar kata Tuhan, "Lebih baik orang miskin yang bersih kelakuannya dari pada orang yang berliku-liku jalannya sekalipun ia kaya. Dan jika orang benar menang, banyaklah pujian orang, tetapi jika orang fasik mendapat kekuasaan, orang menyembunyikan diri" (Amsal 28:6,12). Masih adakah para petinggi di negeri ini yang bersih kelakuannya? Yang tidak berliku-liku jalannya? Semoga masih ada.
Mohon izinkan Saya menyerukan kepada segenap anak bangsa Indonesia di zaman ini. Umur hidupmu dan hidupku sangat terbatas di dunia ini. Mari kita sujud berdoa sungguh-sungguh, mohon belas kasihan-Nya, kiranya Tuhan Sang Penguasa Surga dan Bumi mau mengaruniakan kepada negeri tercinta kita para pemimpin yang senantiasa memikirkan dan bekerja keras dan cerdas demi kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi berikutnya. Dan dijauhkanlah bangsa ini dari para pemimpin yang hanya memikirkan dan berjuang untuk meraup kekuasaan hanya dari pemilu ke pemilu berikutnya. Kiranya bangsa ini dijauhkan dari para pemimpin yang bermartabat rendah yang hatinya hanya dipenuhi akar segala kejahatan yakni cinta uang (Kota Kembang, Rabu, 10 Agustus 2011. Rev. Hans).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar