Yesus
ada sebelum dunia dijadikan
Alkitab
menulis bahwa Yesus Kristus sudah ada sebelum Ia dilahirkan ke dalam dunia ini
(Yoh 1:1-5; 8:58; 17:5, 24; Kolose 1:13-17;
Ibrani 1:2, 8; 2:10). Yesus tidak pernah diciptakan dan Ia selamanya ada, yaitu
dari kekal sampai kekal. Keberadaan Yesus dari waktu kekekalan adalah ajaran
yang sangat penting dalam kekristenan. Dikatakan demikian karena apabila Yesus
tidak berada dalam kekekalan, berarti Yesus adalah ciptaan yang berada dalam
waktu, dan ini menyatakan Yesus bukan Allah. Dalam Yohanes 8:58, Yesus berkata:
“sebelum Abraham jadi, Aku ada”, pernyataan ini mengisyaratkan bahwa diri-Nya
adalah kekal dan karena kekal berarti diri-Nya adalah Allah. Keberadaan Yesus
yang sesungguhnya tidak dimulai dari dalam kandungan Maria, tetapi Yesus telah
ada sebelum segala zaman ada (Yoh. 8:58; 17:5,
24; 8:23). Ini menunjukkan bahwa Yesus ada sebelum segala sesuatu ada, Ia tidak
dibatasi materi, dan segala sesuatu adalah berasal dari pada-Nya.
Eksistensi-Nya melampaui manusia dan tidak dibatasi oleh sejarah manusia. Ia
adalah awal dari segala sesuatu dan Ia adalah akhir dari segala sesuatu (Wong,
1994:13)
Perjanjian Lama memberikan
bukti-bukti tentang kekekalan Yesus, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penampakan diri Yesus pada zaman Perjanjian Lama yang disebut “theophani” juga memberikan bukti
tentang keberadaan-Nya dalam kekekalan. Nubuatan tentang diri-Nya (Mesias) dalam Perjanjian
Lama dikatakan: “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di
antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan
memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala”
(Mikha 5:1). Ayat ini merupakan salah satu bagian yang berbicara tentang
kekekalan-Nya. Semua nubuatan dalam Perjanjian Lama tentang kedatangan Mesias
merupakan bukti bagi kekekalan-Nya. Yesaya 9:5, menyatakan bahwa Yesus tidak
hanya dinyatakan sebagai Allah Perkasa tetapi juga dinyatakan sebagai Bapa yang
kekal. Keberadaan Yesus dalam Perjanjian Lama mendukung bukti tentang kekekalan-Nya.
Kekekalan Yesus Kristus juga
dinyatakan di dalam Perjanjian Baru. Pernyataan pada pendahuluan injil Yohanes
menguatkan tentang kekekalan Yesus Kristus, “pada mulanya adalah Firman; Firman
itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah (Yoh. 1:1)”. Kata
“pada mulanya” (Yunani, en archei)
agaknya menunjuk pada suatu waktu dalam masa kekekalan (Walvoord, Tt: 17).
Di dalam surat-surat kiriman Paulus juga terdapat bukti kekekalan Yesus
Kristus, seperti dalam Kolose 1:16-17,
“karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan
yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana,
maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan
oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala
sesuatu ada di dalam Dia.” Ayat ini memberi pernyataan bahwa Yesus Kristus
sudah ada sebelum segala sesuatu diciptakan. Jikalau Yesus Kristus sudah ada
sebelum segala sesuatu diciptakan, berarti keberadaan Yesus bukan diciptakan
tetapi pribadi yang kekal. Yesus sendiri menyatakan diri-Nya bahwa Dia adalah
Alfa dan Omega, yang Awal dan Yang Akhir (Wahyu 1:8,17).
Yesus Mesias, Anak Allah
Kitab Suci mencatat kedatangan Mesias telah
dinubuatkan ratusan
tahun sebelum Yesus lahir. Dalam Kejadian sampai Maleaki banyak membicarakan
pengharapan akan datangnya Mesias Israel. Perjanjian Lama mengandung 300 rujukan kepada Mesias
yang terpenuhi di dalam Yesus Kristus (McDowell, 2007:232). Kata Mesias sendiri berasal dari
bahasa Yunani “Messias” yang
merupakan perubahan dari bentuk bahasa Aram dari bahasa Ibrani “Mashach”, artinya “mengurapi”. Kata
yang searti dalam Perjanjian Baru ialah “Kristos” atau Kristus, artinya “Yang
Diurapi”. Jadi Kristus dan Mesias artinya adalah “Yang diurapi”.
Salah satu
konsep tentang Mesias adalah Dia akan menjadi Raja, Dia anak Daud yang diurapi,
Singa Yehuda yang akan membangun kembali kerajaan Daud yang sudah runtuh. Aspek
inilah yang menjadi pengharapan bangsa Israel, pengharapan Israel terletak pada
kedatangan Seorang yang diurapi sebagai Raja dan Imam, di mana Israel menaruh
pengharapan untuk melepaskan mereka dari dosa dan penindasan. Sejak kecil orang
Yahudi telah diajarkan bahwa bila Mesias itu datang, Dia akan menjadi pemimpin
politik yang akan memerintah dan mengalahkan segala musuh-Nya. Dia akan membebaskan orang-orang Yahudi dari penjajahan pemerintahan
Romawi. Seorang Mesias yang menderita siksaan sama sekali asing bagi konsep
Mesias Yahudi. Josh Mc Dowell dalam bukunya mengutip pendapat dari Joseph
Klausner, seorang sarjana Yahudi, menulis, “Mesias itu kian lama bukan saja
menjadi penguasa politis yang menonjol, melainkan juga orang laki-laki yang
memiliki kualitas-kualitas moral yang menonjol.” Josh juga mengutip apa yang dikatakan oleh
Jacob Gartenhaus, “Orang-orang Yahudi menantikan Mesias sebagai orang yang akan
membebaskan mereka dari penindasan Romawi, jadi pengharapan Mesianis pada
dasarnya adalah demi kebebasan nasional” (McDowell, 2010:65). Jewis
Encylopaedia menyatakan bahwa orang-orang Yahudi merindukan pembebasan yang
dijanjikan akan datang dari keturunan Daud, yang akan membebaskan mereka dari
kuk perampas-perampas asing yang dibenci itu, mengakhiri pemerintahan Romawi
yang kafir itu, dan menggantikannya dengan mendirikan pemerintahan-Nya sendiri
yang penuh damai dan keadilan (McDowell, 2010:65).
Orang Yahudi
telah menaruh segala pengharapan mereka kepada Mesias yang dijanjikan itu.
Namun Yesus begitu berbeda dengan apa yang mereka harapkan. Setelah Yesus
disalibkan dan mati di Golgota, maka semua pengharapan mereka tentang Yesus
sebagai Mesias lenyap. Kebangkitan-Nya telah meyakinkan pengikut-pengikut-Nya
bahwa Yesuslah Sang Mesias. Alkitab mencatat bahwa Yesus
Kristus sendiri menyatakan diri-Nya sebagai Mesias yang dinanti-nantikan dalam
Perjanjian Lama. Dia menyatakan bahwa segenap pekerjaan-Nya adalah penggenapan
nubuatan Perjanjian Lama. Mesias
digunakan untuk menunjuk peran Yesus sebagai Raja dan Hamba yang menderita,
Mesias adalah sebutan yang paling sering digunakan untuk Yesus. Salah satu
murid Yesus mengatakan bahwa Yesus
adalah Mesias, Anak Allah. Yesus bertanya kepada Petrus tentang Diri-Nya,
Petrus mengakui bahwa “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup” (Mat.
16:16), Yesus menjawab, “Berbahagialah engkau Simon Bin Yunus sebab bukan
manusia yang menyatakan itu kepadamu, tetapi Bapa-Ku yang di sorga” (Mat. 16:17). Seorang
sahabat Yesus yaitu Marta juga berkata kepada Yesus, “Ya Tuhan, aku percaya,
bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah” (Yoh. 11:27). Natanael juga mengakui bahwa Yesus
adalah Anak Allah, ”Kata Natanael kepada-Nya: "Rabi, Engkau Anak Allah,
Engkau Raja orang Israel!" (Yoh. 1:49). Pengakuan Yesus kepada Imam Besar
menjadi bukti yang menegaskan bahwa diri-Nya sebagai Mesias. Imam Besar
bertanya kepada Yesus: Apakah Engkau Mesias, Anak dari yang Terpuji? Jawab
Yesus, “Akulah Dia”.
Demikian juga dengan nubuatan
tentang Yesus sebagai Mesias dapat dilihat dari beberapa nubuatan yang
terpenuhi dalam pribadi Yesus Kristus. Nubuatan tentang kelahiran-Nya dari keturunan seorang perempuan
(Kej. 3:15) sudah digenapi melalui kelahiran Yesus dari seorang perempuan yaitu
Maria (Galatia 4:4). Ada lusinan nubuatan dalam Perjanjian Lama tentang Mesias.
Nubuatan ini ditulis ratusan tahun sebelum Yesus Kristus lahir. Nubuatan-nubuatan
itu merujuk pada Yesus sebagai penggenapan nubuat tentang Mesias yang diurapi
secara ilahi.
Yesus
adalah Allah Sejati
Keilahian
Yesus merupakan esensi dari Injil
Kristus dalam Perjanjian Baru. Keilahian
Yesus Kristus terus menjadi isu penting dan terus menerus diperdebatkan dalam
gereja. C.S. Lewis dalam bukunya Mere Christianity menulis:
“Saya
berusaha mencegah orang dari mengatakan hal-hal yang bodoh yang biasanya orang
katakan mengenai Dia [Yesus Kristus]: “Saya siap untuk menerima Dia sebagai
seorang pengajar moral yang agung, tapi saya tidak menerima klaim bahwa Dia
adalah Allah” (McDowell, 2010:18).
Konsili
Nicea tahun 325 Masehi, gereja menyatakan bahwa “Yesus dilahirkan bukan
diciptakan”, dan sifat ilahi-Nya mempunyai esensi yang sama (homo ousios) dengan Bapa (Sproul,
2000:103). Pengakuan Nicea ini menyatakan bahwa Pribadi kedua dari Allah
Tritunggal mempunyai esensi yang sama dengan Allah Bapa. Keberadaan Yesus
adalah keberadaan Allah, Yesus bukan hanya seperti Allah, tetapi Dia adalah
Allah. Pengakuan tentang keilahian Yesus didasarkan pada berbagai pernyataan di
dalam Perjanjian Baru.
Beberapa
pernyataan Yesus tentang diri-Nya yang ilahi, “Aku dan Bapa adalah satu (Yoh.
10:30), Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku (Yoh. 14:10), barang siapa
melihat Aku, ia melihat Dia yang telah mengutus Aku (Yoh.12:25), Akulah jalan
kebenaran dan hidup (Yoh.14:6). Yesus juga menegaskan, “Jikalau sekiranya kamu
mengenal Aku, kamu mengenal juga BapaKu” (Yoh. 8:19); “Barangsiapa melihat Aku,
ia melihat Dia, yang telah mengutus Aku” (Yoh. 12:45); “Barangsiapa membenci
Aku, ia membenci juga BapaKu” (Yoh.15:23); “Barangsiapa tidak menghormati Anak,
ia juga tidak menghormati Bapa, yang mengutus Dia” (Yoh.5:23). Ayat-ayat ini
sangat jelas menunjukkan bahwa Yesus memandang diri-Nya lebih dari sekedar manusia.
Pernyataan Yesus ini memberikan gambaran diri-Nya sebagai Allah dapat diartikan
bahwa Yesus bukan hanya sekedar nabi, guru yang baik, atau orang saleh. Pernyataan
ini mengacu kepada pribadi Yesus yang menyatakan diri-Nya sebagai yang Ilahi.
Demikian juga dengan pernyataan Yesus yang mampu mengampuni dosa (Markus 2:5;
Luk. 7:48-50). Bagi orang Yahudi hanya
Allah saja yang dapat mengampuni dosa, tak seorangpun di bumi ini memiliki wewenang atau hak untuk
mengampuni dosa, kecuali Allah. Bila Kristus mampu mengampuni dosa, berarti Dia
juga menyatakan diri-Nya sebagai Allah.
Selain
pernyataan Yesus sendiri, Alkitab memberikan cukup banyak bukti tentang
keilahian-Nya, seperti Alkitab secara terang-terangan menyatakan keilahian
Yesus (Yoh. 1:1; 20:28; Rom. 9:5; Filipi 2:6; Titus 2:13; 1 Yoh. 5:20,2), Alkitab
memberikan nama-nama Ilahi kepada Yesus (Yes. 9:5; 40:3; Yer. 23:5, 6; Yoel
2:32), Alkitab mengenakan sifat-sifat Ilahi kepada Yesus, seperti
keberadaan-Nya yang kekal (Yes. 9:5; Yoh. 1:1, 2; Wahyu 1:8; 22:13), berada di
mana-mana (Mat.18:20; Yoh. 3:13), maha tahu (Yoh. 2:24, 25; 21:17;
wahyu 2:23), maha kuasa (Yes. 9:5; Filipi 3:21; wahyu 1:8), tak berubah (Ibr.
1:10-12; 13:8), Alkitab menyebutkan bahwa Yesus yang mengerjakan karya-karya
Ilahi, misalnya penciptaan (Yoh. 1:3,10; Kolose 1:16; Ibr 1:2; 1:10), berdaulat
penuh (Luk.10:22; Yoh. 3:35; 17:2;
Efs. 1:22; Kolose 1:17;
Ibr. 1:3), mengampuni dosa (Mat. 9:2-7;
Mark. 2:7-10; Kolose 3:13) (Walvoord,
Tt:98). Yesus menerima penyembahan dan penghormatan yang hanya boleh diterima
Allah, Yesus menerima penyembahan sebagai Allah (Mat. 14:33; 28:9), dan kadang
menuntut supaya disembah sebagai Allah (Yoh. 5:23). Segala kekayaan Allah ada
di dalam Yesus, hanya Yesus yang dapat menampung segala kekayaan Allah, sebab
Yesus sendiri adalah Allah dan bersatu dengan Allah. Yesus dapat mewujudkan
kemuliaan Allah, hikmat, pengetahuan dan kuasa Allah. Ini membuktikan bahwa
segala keberadaan Allah ada di dalam Yesus. Jadi jelas bahwa Yesus bukan
menyerupai Allah, melainkan Ia adalah Allah sejati. Yesus menyatakan diri-Nya sebagai hakim atas
semua manusia (Mat.25:31; Yoh.5:27),
Yesus memiliki kuasa untuk membangkitkan dan menghakimi orang mati (Yoh.5:21). Demikian
juga dengan pernyataan Stefanus ketika di rajam, “ia berseru dengan suara
nyaring, ‘Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku!’” (KPR. 7:59).
Pernyataan Stefanus mengindikasikan bahwa Yesus adalah Allah, karena roh manusia akan kembali kepada
pencipta-Nya yaitu Allah. Stefanus menyerahkan kembali rohnya kepada Tuhan
Yesus sebagai Allah penciptanya. Apa yang
telah dipaparkan di atas menjelaskan begitu banyak pernyataan Alkitab
mengenai Yesus Kristus sebagai Allah Sejati.
Yesus
adalah Manusia Sejati
Kemanusiaan
Yesus Kristus sama penting dengan keilahian-Nya. Pentingnya kemanusiaan Yesus
karena manusia adalah orang yang
berdosa, maka yang harus menebus adalah seorang manusia yang dapat mati (Roma
8:3; Ibr. 2:14-17). Jika Yesus hanya Allah saja,
maka Dia tidak bisa mati untuk menanggung dosa manusia. Yesus memasuki situasi
manusia untuk bertindak sebagai penebus manusia, Dia menjadi pengganti manusia,
Dia menanggung dosa manusia dan menderita menggantikan manusia, dan yang layak
menjadi pengganti adalah manusia yang tidak berdosa.
Pada tahun 451 Masehi, konsili
oikumene besar Chalcedon meneguhkan bahwa Yesus Kristus adalah benar-benar
manusia dan benar-benar Allah dan bahwa kedua natur dari Yesus Kristus
merupakan suatu kesatuan yang tanpa pencampuran (Sproul, 2000:111). Walaupun
bidat-bidat yang menyangkal kemanusiaan Yesus terus merongrong, tetapi fakta-fakta
bahwa membuktikan Yesus Kristus adalah
manusia sejati, misalnya dapat dilihat bahwa Ia memiliki tubuh manusia sejati
yang terdiri dari daging dan darah. Tubuh-Nya sama dengan manusia, kecuali satu
yang berbeda dengan manusia adalah tidak berdosa. Yesus datang sebagai manusia
(Yoh. 1:14; 1Tim. 3:16; Fil. 2:7-8; Ibr. 2:14; 1Yoh. 4:2).Yesus memiliki tubuh
(Mat. 26:26, 28; Luk. 24:39; Ibr. 2:14) maupun psuche-jiwa/roh (Mat.
26:38; 27:50; Luk. 23:46; Yoh.11:33; 12:27; 13:21; 1Yoh. 3:16).Yesus memiliki pikiran
manusia (Mat. 24:36; Luk. 2:40, 52), perasaan manusia (Mat. 8:10; 9:36; 26:37-38;
Mar. 3:5; 6:6; Luk. 7:9; Yoh. 11:33, 35; 12:27) dan kehendak manusia (Mat.
26:39). Yesus mengalami pertumbuhan/perkembangan (Luk. 2:40, 52). Yesus
mengalami semua pengalaman manusia, seperti: lahir (Luk. 2:7), lapar (Mat.
4:2), haus (Yoh. 4:7; 19:28), letih (Yoh. 4:6), tidur (Mat. 8:24), menderita
(Ibr. 2:10, 18; 5:8) dan mati (Yoh. 19:30). Sama seperti manusia, Yesus juga
dibatasi oleh ruang dan waktu, Yesus tidak bisa berada lebih dari satu tempat
pada saat yang sama. Yesus juga mengalami segala macam emosi manusia, seperti
kegembiraan (Luk.10:21), kesedihan (Mat.26:37),
kasih (Yoh.11:5), belas kasihan (Mat.9:36), rasa heran (Luk.7:9),
marah (Mrk. 3:5) (Milne, 2002:179).
Alkitab begitu banyak memberikan bukti
tentang kemanusiaan Yesus Kristus.
Natur manusia Yesus memiliki
keterbatasan seperti halnya dengan manusia, kecuali dalam hal ketidakberdosaan-Nya.
Yesus tidak hanya mempunyai badan dan jiwa insani, tetapi Ia juga mengambil
bagian di dalam sejarah dan kebudayaan bangsa-Nya. Tata pakaian-Nya dan bahasa
adalah sama dengan orang Yahudi. Fakta-fakta ini juga membuktikan bahwa Yesus
adalah manusia sejati.
Dengan mengambil rupa manusia, Ia
menyatakan diri-Nya kepada manusia. Yesus telah merendahkan diri-Nya mengambil
rupa seorang hamba, menjadi seorang manusia. Dengan mempunyai rupa manusia yang
sejati, barulah Yesus bebas berhubungan dengan manusia. Jika Yesus tidak
memiliki sifat kemanusiaan yang sejati, maka Ia tidak mungkin dapat berhubungan
dengan manusia, dan manusia pun tidak mungkin dapat mengenal dia. Dengan rupa
seorang manusia, ini membuktikan bahwa Ia adalah manusia sejati
Yesus
adalah Allah Sejati dan Manusia Sejati
Yesus
Kristus memiliki tabiat Ilahi dan tabiat manusiawi, kedua tabiat ini sempurna
dalam satu pribadi. Bagaimana kedua pernyataan ini digabungkan dalam satu
pribadi, tentu ini akan selalu menjadi misteri. Ini adalah rahasia Allah yang
besar (1 Tim. 3:16). Namun tetap harus dipahami bahwa keduanya tidak berdiri
sendiri atau terpisah. Kita tidak bisa berkata bahwa Yesus adalah Allah dan
manusia, melainkan Ia adalah Allah-Manusia yaitu Allah dan manusia yang
dipersatukan. Tabiat Ilahi dan tabiat
manusia-Nya selalu bekerja bersama-sama dan kedua tabiat tersebut tidak pernah
bertentangan. Dalam keilahian-Nya Ia menyatakan kemanusiaan-Nya, kuasa
ilahi-Nya diekspresikan melalui sifat kemanusiaan-Nya. Dalam kemanusiaan-Nya Ia
memiliki sifat keilahian, sehingga dari diri-Nya manusia dapat mengenal Allah.
Yesus memiliki sifat Ilahi, maka Ia pun mulia dan berkuasa sama dengan Allah
Bapa. Ia memiliki sifat kemanusiaan, maka Ia dapat bersimpati kepada manusia,
dan dapat menyelami kesusahan manusia. Yohanes 1:14 mencatat bahwa Firman itu
telah menjadi manusia, Yohanes menekankan bahwa Firman itu benar-benar termasuk
umat manusia. Kristus, Allah yang kekal
itu menjadi manusia (Filipi 2:5-9).
Kemanusiaan dan keilahian berpadu di dalam diri-Nya. Dengan merendahkan
diri-Nya Ia memasuki hidup kemanusiaan dengan segala keterbatasan dari
pengalaman manusia.
Pada zaman purba sudah muncul
pandangan-pandangan yang berbeda, seperti: Ebonisme, cabang Kristen Yahudi ini
menghapuskan sama sekali keilahian Yesus. Mereka menganggap Yesus hanya manusia
meskipun diangkat oleh Allah sebagai Mesias (Milne, 2002:201). Gerakan
Doketisme yang hanya mengakui keilahian Yesus dan menghilangkan kemanusian-Nya.
Mereka berpandangan bahwa Yesus hanya menyerupai manusia (2002:201). Gerakan
Gnostisisme, gerakan ini mengakui Yesus bukan Allah sejati atau pun manusia
sejati. Gerakan Arianisme yang menolak keilahian Yesus Kristus. Gerakan
Apolinarianisme yang menyangkal kemanusian Yesus Kristus. Gerakan Nestorianisme
yang memisahkan kedua kodrat Yesus Kristus (2002:2003).
Pada
tahun 451 diadakan suatu konsili di Chalcedon guna menyelesaikan perdebatan-perdebatan
terhadap kedua kodrat pribadi Yesus Kristus.Walaupun konsili ini tidak
memuaskan semua pihak, tetapi telah menghasilkan dasar perumusan ortodoks
mengenai pribadi Yesus. Pasal utamanya menegaskan, “kita harus mengakui bahwa
Tuhan kita Yesus Kristus adalah anak tunggal yang sama…sempurna dalam
keilahian…sempurna dalam kemanusiaan…sehakikat (homoousios) dengan Bapa dalam keilahian, sehakekat (homoousios) dengan kita dalam
kemanusiaan…diperkenalkan kepada kita dalam dua kodrat (fuseis), tanpa pembauran, tanpa perubahan, tanpa pembagian, tanpa
pemisahan…sifat-sifat kedua kodrat tetap terpelihara dan berada sekaligus dalam
satu pribadi (prosopon) dan satu
hakikat (hupostasis).” (2002:204)
Kedua
kodrat yaitu kodrat manusia sepenuhnya dan kodrat ilahi sepenunya menyatu dalam
satu pribadi, tanpa pembauran, tanpa perubahan, tanpa pembagian, dan tanpa
pemisahan.Walaupun dalam satu kesatuan, tetapi masing-masing mempertahankan
sifat-sifat hakikatnya. Kedua kodrat ini sama-sama bekerja dalam tiap-tiap
pikiran, perkataan, perbuatan-Nya, dan kedua kodrat ini bekerja dalam satu
pribadi. Lebih jauh, Kevin J. Conner dalam bukunya menulis, “Dalam satu pribadi
Yesus Kristus, ada dua hakikat, manusia dan ilahi, yang bisa dibedakan tetapi
tidak bisa dipisahkan (Conner, 2004:365).