Kursi Bambu Mang Jumar
Peristiwa ini terjadi beberapa tahun lampau. Waktu itu saya bersama istri berduaan dengan motor berkeliling kota. Melepaskan kepenatan dan kejenuhan. Kami menyusuri jalan-jalan di kota Bandung yang dulunya disebut Paris Van Java, namun kini, maaf, lebih pas bisa dikatakan "Paris Van Sampah" karena sampah berserakkan di mana-mana ditambah lagi dengan jalan-jalan yang berlubang-lubang.
Memang kami sering berduaan dengan motor kesayangan kami, Honda CB 100. Antik tapi asyik euuuuyyy, untuk terus memupuk kasih di dalam dada kami yang hampir seperempat abad menikah. Bier cintenye tetep membere ceileh… kayak ABG aja… he he he… Yaialah. Harus dong! Api cinta pernikahan harus dipupuk, disirami, dibersihin dari gulma (tanaman pengganggu) bukan? Jangan makin lama usia pernikahan makin redup kemesraannya uaa ha ha ha…. Nih coba perhatikan cerita-cerita berikut ini. Pasutri dalam usia pernikahan lima hari sampai lima minggu. Sang Suami berkata sama istrinya, "Selamat bobo sayang, mimpi indah ya, mmmuach!" Usia nikah lima bulan bagaimana? Si suami berkata, "Tolong matiin lampunya, silau nih!" Usia pernikahan lima tahun? Suami berkata waktu tidur malam, "Kesana-an doong... kamu tidur dempet-dempetan kayak mikrolet gini sih?!" Mau lagi cerita lain? Ah kamu ketagihan cerita-cerita gini ah. Baiklah, satu aja ya? Ini cerita soal menerima telepon. Usia pernikahan satu minggu. Sang istri menerima telpon rumah. "Dad sayang… ada yang pengen bicara ama kamu di telpon nih." Satu bulan nikah. "Eh...ini buat kamu nih..." Nikah satu tahun. Kata sang istri ketika menerima telepon. "WOOIII TELPON BUNYI TUUUHHH....ANGKAT DUOOONG!!! GAK DENGEEER APAAA...?!" Jangan senyum-senyum dong! Mau tambah satu cerita lagi gak??? Ah udahan yaa…! Waduh rek… nampaknya kamu penasaran ya… kacian de luh… Ok ok saya kasih satu lagi. Tapi ini benar-benar yang terakhir ya. Ini tentang pemakaian toilet. Suami dan istri pagi-pagi mau ke toilet. Usia pernikahan mereka tiga bulan. Kata suami sama istrinya, "Ngga apa-apa sayang, kamu duluan deh, aku ngga buru-buru koq… santai aja yank!" Padahal ia sudah kebelet beol. Tiga bulan pernikahan. Kata suami, "masih lama ngga nih?" Dalam usia nikah tiga tahun, beginilah tingkah dan ucapan si suami waktu mau pakai toilet. "Brug! brug! brug! (suara pintu digedor), kalo mau bertapa di gunung Kawi sono!" Bagaimana kalau usia pernikahan sudah dua puluhan tahun ya… apa masih ada kemesraan??? Koq jadi nyasar gini… mau cerita tentang "Kursi Bambu Mang Jumar" koq jadi cerita tentang kemesraan… weleh… weleh…
Okelah kita balik ya. Setelah beberapa waktu lamanya akhirnya kami harus pulang ke rumah. Nah, dalam perjalanan kembali ke rumah itulah, kami berjumpa dengan seorang penjual kursi bambu, yang akhirnya kami tahu namanya, Mang Jumar. Mang Jumar orangnya kecil dan kurus. Dia saban hari berjalan keliling dari desanya Cililin ke kota Bandung sambil memikul empat buah kursi bambu untuk dijual kepada orang-orang kota. Satu kursi itu panjangnya tujuh jengkal. Satu jengkal ukurannya dari jari tengah hingga ibu jari saya. Ya kira-kira satu meter setengah panjangnya kursi itu. Mang Jumar menyusun sedemikian rupa sehingga ia bisa memikul dua kursi di sebelah kanannya dan dua kursi lagi di sebelah kirinya. Minta ampun beratnya!!! Ia memikul empat kursi itu dengan nafas yang terengah-engah diiringi cucuran keringat deras membasahi sekujur tubuhnya. Jangan ditanya bau badannya. Terkadang sepanjang hari empat kursinya tak satupun yang dibeli orang. Terpaksa ia harus membawanya pulang ke Cililin. Atau ia beristirahat di emperan toko atau di mana saja yang bisa membuat kepala dan badannya mendapatkan tempat berbaring untuk tidur malam. Besok harinya ia harus kembali menjajakan kursi bambunya dengan berkeliling dari satu lorong jalan ke lorong jalan lainnya. Berat sekali. Namun itulah satu-satunya cara dia memelihara hidup istri dan beberapa anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Dan ini sudah bertahun-tahun lamanya ia melakukannya.
Dalam lajunya motor yang saya kendarai, tiba-tiba istri saya, Ima menepuk bahu saya sambil berkata, " Pa… berhenti dulu." "Kenapa berhenti?", tanya saya. "Itu tuh ada penjual kursi bambu, mama mau beli satu," jawab Ima. Kata saya, "Mau ditaruh di mana kursinya, rumah kita kan sempit gak ada tempat lagi?" "Bisalah, nanti mama atur", demikian Ima ngotot mau beli. Lalu saya menghentikan motor dan Ima langsung menanyakan berapa harga kursi bambu itu. "Harganya Rp 25.000 bu!", demikian kata Mang Jumar. "Oke Mang, tapi Mang ikut ke rumah kami ya… tuh hanya beberapa puluh meter lagi", ajak Ima pada Mang Jumar. Akhirnya Mang Jumar sampai juga di rumah kami. Ima langsung ke dapur dan membuatkan kopi manis buat Mang Jumar. Dan, Mang Jumar mungkin karena kehausan dan lelah, langsung menghirup perlahan-lahan kopi manis semanis Ima istriku he he he…. Kemudian Ima ke kamar untuk mengambil uang Rp 25.000. Di depan kamar Ima bertemu Juan, anak kami yang pertama. Kala itu Juan masih duduk di SMP. "Ma … siapa yang datang itu?", tanya Juan sama mamanya. "Oh itu Mang Jumar penjual kursi bambu", jawab Ima. "Untuk apa ma… mama mau beli ya. Berapa harganya satu?", Juan kembali bertanya. "Ya mama mau beli. Harganya Rp 25.000, tapi mama mau nambah supaya menjadi Rp 35.000", demikian kata Ima sama Juan. Saya terus mendengar percakapan mereka berdua sambil menemani Mang Jumar meneguk kopi manis hangat. Juan lalu berkata lagi sama mamanya, "Ma… kasihan Mang Jumar capek sekali ia pikul kursi-kursinya, kenapa hanya Rp 35.000, berikanlah Rp 50.000 buat Mang Jumar!" Wah saya kaget dengan dialog dua orang "gila" ini. Hati saya sangat terharu terhadap isi hati Ima dan Juan yang penuh belas kasihan itu. Dalam hati saya berdoa, "Terima kasih Tuhan Yesus, Engkau telah memberikan hati-Mu yang penuh belaskasihan di hati mereka terhadap orang-orang sederhana seperti Mang Jumar ini. Hati saya lebih terharu lagi, sebab saya tahu berapa sejatinya pendapatan kami setiap bulan sebagai pelayan Tuhan yang melayani orang-orang desa di tanah air ini.
Sikap hati dan perilaku istri dan anak saya sungguh menjadi peringatan keras kepada diri saya sendiri tentang arti panggilan hidup melayani Tuhan dan sesama. Kita bisa saja melayani seperti mesin cuci pakaian (mekanis), tanpa kasih, namun mustahil mengasihi tanpa melayani dalam tindakan nyata terhadap sesama (altruis). Bukankah Tuhan berfirman, "…. menangislah dengan orang yang menangis!"? (Roma 12:15). Dan sungguh amat banyak perintah Tuhan dalam Alkitab yang mendorong kita untuk mengasihi dengan perbuatan yang nyata. Bukan sekadar kita berkata kasihan (atau kacian deh luh) kepada mereka yang sengsara. Kita wajib bertindak dengan kasih. Kita harus menuntun mereka, bukan menonton mereka yang sedang terseok-seok. Ada jutaan jiwa yang kini merana hidupnya di negeri tercinta kita. Apakah kita hanya menonton atau kita mau menuntun mereka?
Kata Yunani belas kasihan adalah Splagkhnistheis dari kata splagkhna yang berarti mangkuk. Ini menggambarkan hati nurani manusia yang terdalam. Dalam Injil, dengan beberapa kekecualian, kata itu secara khusus hanya dipakai untuk diri Yesus.
Hal-hal yang paling menggerakkan Yesus adalah: Orang-orang yang mengalami penderitaan dunia. Yesus menangis ketika melihat orang sakit, buta, dan dirasuk setan. Yesus tidak tahan melihat orang-orang yang menderita, Ia selalu rindu untuk meringankan beban penderitaan itu. Yesus tergerak dengan orang yang berada dalam kesedihan seperti seorang janda di Nain yang anaknya mati (Lukas 7:13). Begitu juga ketika melihat Maria dan Marta yang telah kehilangan kakak mereka Lazarus, Yesus sangat sedih, terharu dan menangis (Yohanes 11:33 –34). Yesus selalu penuh dengan keinginan untuk menghapus setiap tetesan air mata orang yang bersedih.
Yesus tergerak ketika melihat orang-orang dalam kelaparan (Matius 15:32). Orang Kristen yang sejati tidak akan mempunyai niat mengumpulkan harta benda untuk diri sendiri sementara orang lain berkekurangan. Saya sangat terkesan dengan perkataan kawan saya dalam suatu perbincangan di antara kami berdua (ia adalah seorang pengusaha yang sukses). Dia berkata: "Saya takut dengan kekayaan yang saya miliki saat ini apakah saya telah mempergunakannya seturut dengan kehendak-Nya? Sekali waktu Tuhan mengaudit harta saya, apakah saya dapat mempertanggungjawabkannya?" Oleh karena itu, doa dan harapan saya kiranya prinsip ini harus kita pegang sebagai alarm, tanda peringatan dalam mengelola seluruh talenta (jabatan, kuasa, popularitas, kepintaran, uang, dan harta benda) yang Tuhan percayakan kepada masing-masing kita.
Dan Yesus sangat tergerak dengan orang-orang dunia yang berada dalam kebingungan tanpa arah dan harapan hidup yang jelas. Yesus sedih ketika melihat mereka yang terbaring tidak berdaya dan dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Yesus mengecam para ahli Taurat yang suka memberatkan kehidupan orang-orang Israel dengan hukum-hukum manusia mereka. Karena itu tak heran Yesus berkata kepada orang yang suka menyesatkan orang lebih baik batu kilangan diikatkan dilehernya lalu ditenggelamkan dalam lautan. Ini menunjukkan bahwa Yesus tidak mau ada orang yang tersesat atau disesatkan jalan hidupnya. Bagaimana dengan kita???
Mang Jumar setelah menerima uang Rp 50.000 dari tangan istri saya, lalu tangannya merogok sakunya untuk mengambil uang kembalian. Tangan Mang jumar masih dalam kantongnya, sembari istri saya berkata, "Mang… tidak usah dikembalikan uangnya. Itu semua untuk Mang Jumar dari kami sekeluarga. Hanya itu yang bisa kami berikan." Lalu Mang Jumar menatap kami satu persatu dengan bibir yang bergetar sambil berkata dengan linangan air mata, " Pak, bu, ade… hatur nuhun pisan nya' (terima kasih banyak ya)! Saya tidak pernah mengalami hal seperti hari ini. Biasanya saya menghadapi pembeli yang menawar harga serendah-rendahnya kursi bambu saya ini. Bahkan kadang mendengar kata-kata yang tidak enak didengar telinga. Kenapa kalian mau melakukan hal ini?" Lalu saya menjawab Mang Jumar, " Mang… kami terlebih dulu juga telah mendapat kasih sayang dari Yesus Kristus Tuhan dan Juruselamat kami. Kami seharusnya binasa di dalam api neraka, namun Ia rela mati di kayu salib untuk menyelamatkan kami dari kematian kekal. Dialah yang mengajarkan kami supaya juga mengasihi orang-orang lain di dunia ini. Dan Mang Jumar kami anggap bukan orang lain, sekarang Mang bersama istri dan anak-anak adalah saudara kami. Nanti lain kali bawalah istri dan anak-anak menginap dan bermain-main di rumah kami. Bila kursi-kursi Mang belum laku, janganlah bawa pulang ke kampung, silakan tidur di rumah kami dan besok jualan lagi." Dan akhirnya kami mengobrol lama dengan Mang Jumar pada siang itu. Hubungan kami menjadi akrab layaknya saudara saja. Kadang ia datang membawa sayur mayur dan buah-buahan hasil panennya dari kampung Cililin. Dan juga pernah sekali ia menginap di rumah kami. Sedih nian ketika kami pindah kontrakan rumah di lorong sempit, sampai hari ini kami belum pernah bersua lagi dengan Mang Jumar yang kami kasihi. Kami sering mencari-carinya tapi sampai detik ini kami belum juga bertemu muka dengan Mang Jumar. Kami sudah agak lupa wajah Mang Jumar karena pertemuan kami sudah berlalu hampir tujuh tahun lampau. Semoga ia masih mengingat wajah kami. Kami berharap bila bertemu, ia mau mengagetkan kami dengan menepuk bahu kami. "Oh Tuhan Yesus pertemukan kami lagi dengan Mang Jumar si penjual kursi bambu dari desa Cililin. Kami rindu bertemu dengannya. Tuhan, kami mau membeli satu lagi kursi bambu Mang Jumar!"
Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku…. dan Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku (Matius 25: 40, 45).
Peristiwa ini terjadi beberapa tahun lampau. Waktu itu saya bersama istri berduaan dengan motor berkeliling kota. Melepaskan kepenatan dan kejenuhan. Kami menyusuri jalan-jalan di kota Bandung yang dulunya disebut Paris Van Java, namun kini, maaf, lebih pas bisa dikatakan "Paris Van Sampah" karena sampah berserakkan di mana-mana ditambah lagi dengan jalan-jalan yang berlubang-lubang.
Memang kami sering berduaan dengan motor kesayangan kami, Honda CB 100. Antik tapi asyik euuuuyyy, untuk terus memupuk kasih di dalam dada kami yang hampir seperempat abad menikah. Bier cintenye tetep membere ceileh… kayak ABG aja… he he he… Yaialah. Harus dong! Api cinta pernikahan harus dipupuk, disirami, dibersihin dari gulma (tanaman pengganggu) bukan? Jangan makin lama usia pernikahan makin redup kemesraannya uaa ha ha ha…. Nih coba perhatikan cerita-cerita berikut ini. Pasutri dalam usia pernikahan lima hari sampai lima minggu. Sang Suami berkata sama istrinya, "Selamat bobo sayang, mimpi indah ya, mmmuach!" Usia nikah lima bulan bagaimana? Si suami berkata, "Tolong matiin lampunya, silau nih!" Usia pernikahan lima tahun? Suami berkata waktu tidur malam, "Kesana-an doong... kamu tidur dempet-dempetan kayak mikrolet gini sih?!" Mau lagi cerita lain? Ah kamu ketagihan cerita-cerita gini ah. Baiklah, satu aja ya? Ini cerita soal menerima telepon. Usia pernikahan satu minggu. Sang istri menerima telpon rumah. "Dad sayang… ada yang pengen bicara ama kamu di telpon nih." Satu bulan nikah. "Eh...ini buat kamu nih..." Nikah satu tahun. Kata sang istri ketika menerima telepon. "WOOIII TELPON BUNYI TUUUHHH....ANGKAT DUOOONG!!! GAK DENGEEER APAAA...?!" Jangan senyum-senyum dong! Mau tambah satu cerita lagi gak??? Ah udahan yaa…! Waduh rek… nampaknya kamu penasaran ya… kacian de luh… Ok ok saya kasih satu lagi. Tapi ini benar-benar yang terakhir ya. Ini tentang pemakaian toilet. Suami dan istri pagi-pagi mau ke toilet. Usia pernikahan mereka tiga bulan. Kata suami sama istrinya, "Ngga apa-apa sayang, kamu duluan deh, aku ngga buru-buru koq… santai aja yank!" Padahal ia sudah kebelet beol. Tiga bulan pernikahan. Kata suami, "masih lama ngga nih?" Dalam usia nikah tiga tahun, beginilah tingkah dan ucapan si suami waktu mau pakai toilet. "Brug! brug! brug! (suara pintu digedor), kalo mau bertapa di gunung Kawi sono!" Bagaimana kalau usia pernikahan sudah dua puluhan tahun ya… apa masih ada kemesraan??? Koq jadi nyasar gini… mau cerita tentang "Kursi Bambu Mang Jumar" koq jadi cerita tentang kemesraan… weleh… weleh…
Okelah kita balik ya. Setelah beberapa waktu lamanya akhirnya kami harus pulang ke rumah. Nah, dalam perjalanan kembali ke rumah itulah, kami berjumpa dengan seorang penjual kursi bambu, yang akhirnya kami tahu namanya, Mang Jumar. Mang Jumar orangnya kecil dan kurus. Dia saban hari berjalan keliling dari desanya Cililin ke kota Bandung sambil memikul empat buah kursi bambu untuk dijual kepada orang-orang kota. Satu kursi itu panjangnya tujuh jengkal. Satu jengkal ukurannya dari jari tengah hingga ibu jari saya. Ya kira-kira satu meter setengah panjangnya kursi itu. Mang Jumar menyusun sedemikian rupa sehingga ia bisa memikul dua kursi di sebelah kanannya dan dua kursi lagi di sebelah kirinya. Minta ampun beratnya!!! Ia memikul empat kursi itu dengan nafas yang terengah-engah diiringi cucuran keringat deras membasahi sekujur tubuhnya. Jangan ditanya bau badannya. Terkadang sepanjang hari empat kursinya tak satupun yang dibeli orang. Terpaksa ia harus membawanya pulang ke Cililin. Atau ia beristirahat di emperan toko atau di mana saja yang bisa membuat kepala dan badannya mendapatkan tempat berbaring untuk tidur malam. Besok harinya ia harus kembali menjajakan kursi bambunya dengan berkeliling dari satu lorong jalan ke lorong jalan lainnya. Berat sekali. Namun itulah satu-satunya cara dia memelihara hidup istri dan beberapa anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Dan ini sudah bertahun-tahun lamanya ia melakukannya.
Dalam lajunya motor yang saya kendarai, tiba-tiba istri saya, Ima menepuk bahu saya sambil berkata, " Pa… berhenti dulu." "Kenapa berhenti?", tanya saya. "Itu tuh ada penjual kursi bambu, mama mau beli satu," jawab Ima. Kata saya, "Mau ditaruh di mana kursinya, rumah kita kan sempit gak ada tempat lagi?" "Bisalah, nanti mama atur", demikian Ima ngotot mau beli. Lalu saya menghentikan motor dan Ima langsung menanyakan berapa harga kursi bambu itu. "Harganya Rp 25.000 bu!", demikian kata Mang Jumar. "Oke Mang, tapi Mang ikut ke rumah kami ya… tuh hanya beberapa puluh meter lagi", ajak Ima pada Mang Jumar. Akhirnya Mang Jumar sampai juga di rumah kami. Ima langsung ke dapur dan membuatkan kopi manis buat Mang Jumar. Dan, Mang Jumar mungkin karena kehausan dan lelah, langsung menghirup perlahan-lahan kopi manis semanis Ima istriku he he he…. Kemudian Ima ke kamar untuk mengambil uang Rp 25.000. Di depan kamar Ima bertemu Juan, anak kami yang pertama. Kala itu Juan masih duduk di SMP. "Ma … siapa yang datang itu?", tanya Juan sama mamanya. "Oh itu Mang Jumar penjual kursi bambu", jawab Ima. "Untuk apa ma… mama mau beli ya. Berapa harganya satu?", Juan kembali bertanya. "Ya mama mau beli. Harganya Rp 25.000, tapi mama mau nambah supaya menjadi Rp 35.000", demikian kata Ima sama Juan. Saya terus mendengar percakapan mereka berdua sambil menemani Mang Jumar meneguk kopi manis hangat. Juan lalu berkata lagi sama mamanya, "Ma… kasihan Mang Jumar capek sekali ia pikul kursi-kursinya, kenapa hanya Rp 35.000, berikanlah Rp 50.000 buat Mang Jumar!" Wah saya kaget dengan dialog dua orang "gila" ini. Hati saya sangat terharu terhadap isi hati Ima dan Juan yang penuh belas kasihan itu. Dalam hati saya berdoa, "Terima kasih Tuhan Yesus, Engkau telah memberikan hati-Mu yang penuh belaskasihan di hati mereka terhadap orang-orang sederhana seperti Mang Jumar ini. Hati saya lebih terharu lagi, sebab saya tahu berapa sejatinya pendapatan kami setiap bulan sebagai pelayan Tuhan yang melayani orang-orang desa di tanah air ini.
Sikap hati dan perilaku istri dan anak saya sungguh menjadi peringatan keras kepada diri saya sendiri tentang arti panggilan hidup melayani Tuhan dan sesama. Kita bisa saja melayani seperti mesin cuci pakaian (mekanis), tanpa kasih, namun mustahil mengasihi tanpa melayani dalam tindakan nyata terhadap sesama (altruis). Bukankah Tuhan berfirman, "…. menangislah dengan orang yang menangis!"? (Roma 12:15). Dan sungguh amat banyak perintah Tuhan dalam Alkitab yang mendorong kita untuk mengasihi dengan perbuatan yang nyata. Bukan sekadar kita berkata kasihan (atau kacian deh luh) kepada mereka yang sengsara. Kita wajib bertindak dengan kasih. Kita harus menuntun mereka, bukan menonton mereka yang sedang terseok-seok. Ada jutaan jiwa yang kini merana hidupnya di negeri tercinta kita. Apakah kita hanya menonton atau kita mau menuntun mereka?
Kata Yunani belas kasihan adalah Splagkhnistheis dari kata splagkhna yang berarti mangkuk. Ini menggambarkan hati nurani manusia yang terdalam. Dalam Injil, dengan beberapa kekecualian, kata itu secara khusus hanya dipakai untuk diri Yesus.
Hal-hal yang paling menggerakkan Yesus adalah: Orang-orang yang mengalami penderitaan dunia. Yesus menangis ketika melihat orang sakit, buta, dan dirasuk setan. Yesus tidak tahan melihat orang-orang yang menderita, Ia selalu rindu untuk meringankan beban penderitaan itu. Yesus tergerak dengan orang yang berada dalam kesedihan seperti seorang janda di Nain yang anaknya mati (Lukas 7:13). Begitu juga ketika melihat Maria dan Marta yang telah kehilangan kakak mereka Lazarus, Yesus sangat sedih, terharu dan menangis (Yohanes 11:33 –34). Yesus selalu penuh dengan keinginan untuk menghapus setiap tetesan air mata orang yang bersedih.
Yesus tergerak ketika melihat orang-orang dalam kelaparan (Matius 15:32). Orang Kristen yang sejati tidak akan mempunyai niat mengumpulkan harta benda untuk diri sendiri sementara orang lain berkekurangan. Saya sangat terkesan dengan perkataan kawan saya dalam suatu perbincangan di antara kami berdua (ia adalah seorang pengusaha yang sukses). Dia berkata: "Saya takut dengan kekayaan yang saya miliki saat ini apakah saya telah mempergunakannya seturut dengan kehendak-Nya? Sekali waktu Tuhan mengaudit harta saya, apakah saya dapat mempertanggungjawabkannya?" Oleh karena itu, doa dan harapan saya kiranya prinsip ini harus kita pegang sebagai alarm, tanda peringatan dalam mengelola seluruh talenta (jabatan, kuasa, popularitas, kepintaran, uang, dan harta benda) yang Tuhan percayakan kepada masing-masing kita.
Dan Yesus sangat tergerak dengan orang-orang dunia yang berada dalam kebingungan tanpa arah dan harapan hidup yang jelas. Yesus sedih ketika melihat mereka yang terbaring tidak berdaya dan dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Yesus mengecam para ahli Taurat yang suka memberatkan kehidupan orang-orang Israel dengan hukum-hukum manusia mereka. Karena itu tak heran Yesus berkata kepada orang yang suka menyesatkan orang lebih baik batu kilangan diikatkan dilehernya lalu ditenggelamkan dalam lautan. Ini menunjukkan bahwa Yesus tidak mau ada orang yang tersesat atau disesatkan jalan hidupnya. Bagaimana dengan kita???
Mang Jumar setelah menerima uang Rp 50.000 dari tangan istri saya, lalu tangannya merogok sakunya untuk mengambil uang kembalian. Tangan Mang jumar masih dalam kantongnya, sembari istri saya berkata, "Mang… tidak usah dikembalikan uangnya. Itu semua untuk Mang Jumar dari kami sekeluarga. Hanya itu yang bisa kami berikan." Lalu Mang Jumar menatap kami satu persatu dengan bibir yang bergetar sambil berkata dengan linangan air mata, " Pak, bu, ade… hatur nuhun pisan nya' (terima kasih banyak ya)! Saya tidak pernah mengalami hal seperti hari ini. Biasanya saya menghadapi pembeli yang menawar harga serendah-rendahnya kursi bambu saya ini. Bahkan kadang mendengar kata-kata yang tidak enak didengar telinga. Kenapa kalian mau melakukan hal ini?" Lalu saya menjawab Mang Jumar, " Mang… kami terlebih dulu juga telah mendapat kasih sayang dari Yesus Kristus Tuhan dan Juruselamat kami. Kami seharusnya binasa di dalam api neraka, namun Ia rela mati di kayu salib untuk menyelamatkan kami dari kematian kekal. Dialah yang mengajarkan kami supaya juga mengasihi orang-orang lain di dunia ini. Dan Mang Jumar kami anggap bukan orang lain, sekarang Mang bersama istri dan anak-anak adalah saudara kami. Nanti lain kali bawalah istri dan anak-anak menginap dan bermain-main di rumah kami. Bila kursi-kursi Mang belum laku, janganlah bawa pulang ke kampung, silakan tidur di rumah kami dan besok jualan lagi." Dan akhirnya kami mengobrol lama dengan Mang Jumar pada siang itu. Hubungan kami menjadi akrab layaknya saudara saja. Kadang ia datang membawa sayur mayur dan buah-buahan hasil panennya dari kampung Cililin. Dan juga pernah sekali ia menginap di rumah kami. Sedih nian ketika kami pindah kontrakan rumah di lorong sempit, sampai hari ini kami belum pernah bersua lagi dengan Mang Jumar yang kami kasihi. Kami sering mencari-carinya tapi sampai detik ini kami belum juga bertemu muka dengan Mang Jumar. Kami sudah agak lupa wajah Mang Jumar karena pertemuan kami sudah berlalu hampir tujuh tahun lampau. Semoga ia masih mengingat wajah kami. Kami berharap bila bertemu, ia mau mengagetkan kami dengan menepuk bahu kami. "Oh Tuhan Yesus pertemukan kami lagi dengan Mang Jumar si penjual kursi bambu dari desa Cililin. Kami rindu bertemu dengannya. Tuhan, kami mau membeli satu lagi kursi bambu Mang Jumar!"
Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku…. dan Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku (Matius 25: 40, 45).
--
In Christ's Love
Rev. Hans
"Jangan takut! Teruslah memberitakan firman dan jangan diam! (Kisah Para Rasul 18:9b).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar